May 18, 2009

IOSA Minta Dephub Tak Kaku Terapkan Roadmap Azas Cabotage


IOSA Minta Dephub Tak Kaku Terapkan Roadmap Azas Cabotage


Departemen perhubungan mulai memperketat ijin pengopreasian penggunaan kapal asing (PPKA) untuk menuju roadmap azas cabotage secara penuh pada awal tahun 2011. Namun perjalanan menuju 100% azas cabotage itu nampaknya tidak mudah. Sebab, faktanya di lapangan masih ada bidang usaha pelayaran yakni Offshore (lepas pantai) yang sulit untuk mewujudkan hal itu lantaran karakteristik usahanya berbeda dengan pelayaran lain. Pelayaran ini khusus melayani kebutuhan bagi kontraktor minyak dan gas (pengeboran minyak di lepas pantai) dan kapal yang dibutuhkan adalah kapal yang spesifik yang kebanyaka berbendera asing.

Menyikap roadmap azas cabotage tersebut, para perusahaan pelayaran yang tergabung daam wadah organisasi IOSA (Indonesian Offshore Shipping Association) menggelar rapat pleno di Jakara baru-baru ini (22/4) guna menyatakan sikap untuk dijadikan pertimbangan bagi Departemen Perhubungan soal pemberlakuan roadmap tersebut.

Kepada wartawan usai memimpin Rapat Pleno, Ketua Umum IOSA Capt. Budhi Siregar mengatakan, pada prinsipnya IOSA mendukung pelaksanaan azas cabotage. Namun disisi lain, IOSA juga tidak ingin aktifitas usaha eksplorasi migas yang merupakan proyek Negara menjadi terganggu lantaran kebijakan azas cabotage yang kaku.

“Jadi kami mengharapkan agar roadmap azas cabotage tidak dilaksanakan secara kaku. Ini bukan semata kepentingan kami IOSA tetapi adalah kepentingan naisonal.” kata Budhi Siregar yang juga didampingi oleh Sekjen, Nico Tanzil dan bendahara H.D. Lubis.

Ditegaskan Budhi, kalau memang kita masih membutuhkan kapal asing yang memang juga tidak ada di Indonesia, kenapa harus dipaksakan azas cabotage jika nantinya akan berdampak pada terganggunya perekonomian nasional. Sebut saja di sekotr batubara dan muatan BBM termasuk juga kegiatan offshore.

Dikatakan, sampai saat ini maish ada sekitar 80 kapal asing yang melayani kegiatan offshore di Indonesia. 80 kapal itu diasumsikan senilai US$1 miliar. Pertanyaannya, apa mungkin dalam waktu 22 bulan (dari sekarang hingga awal 2011) perusaahn pelayaran sector ini dapat mewujudkannya. Disisi lain, lanjutnya, perlu juga dipertimbangkan beberapa hal soal alih bendera. Antara lain soal dana, dimana sampai Semarang bank di Indonesia tidak ada skim khusus ke pelayaran sebagaimana di negara lain. Kalau di negara lain bunga bank untuk pelayaran antara 4 sampai 6%, sedangkan di Indonesia disamaratakan yakni antara 12 sampai 14%.

“Selain itu, kalaupun toh ada dana, kapalnya belum tentu ada karena pemiliknya tak menjual. Kalaupun mau dijual, karena asing tahu bahwa Indonesia sangat butuh kapal itu, apa harganya tidak akan ditinggikan. Dan terakhir, kalaupun itu terbeli semua apakah Indonesia nantinya tidak akan dipenuhi oelh kapal-kapal tua. Inilah yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah untuk masalah pelayaran offshore,” jelas Budhi Siregar.

Hal lain yang perlu diketahui kata Siregar, kapal-kapal offshore itu nilainya relatif mahal daripada kapal kargo lain. Sebab, meskipun kecil ukurannyam namun padat teknologi yang terus berkembang sesuai dengan kebutuhan perusahaan perusahaan pengeboran migas.

Beberapa jenis kapal yang utama disini antara lain Tug Biat, Utility Boat Supply Vessel, Anchor Handling Tug dan Anchor Handling Tug & Supply Vessel, untuk kapal bekasnya saja 1 unit bisa mencapai US$10 juta.

Soal PPKA, Budhi Siregar juga mengharapkan agar Ditjen Perhubungan Laut ketika meminta rekomendasi kepada asosiasi, maka hendaknya disesuaikan dengan rekomendasi yang diminta itu.

”Soal rekomendasi ini, sering saya katakan bahwa sebenarnya dan mestinya Perhubungan Lautlah yang lebih tahu persis kondisi kebutuhan kapal. Sedangkan asosiasi itu ya hanya tahu tentang anggotanya saja, sedang di luar itu juga ada perusahaan pelayaran yang tidak menjadi anggota asosiasi,” paparnya. (A. Habib)


Mingguan Maritim, No. 547 Th. XI Edisi 28 April - 04 Mei 2009

1 comment:

  1. Kok baru sekarang berkomentar meminta pemerintah menunda azas cabotage. peraturan ini sendiri kan sudah disosialisasikan sejak tahun 2005.

    untuk industry sekelas industry oil and gas sangat naif untuk kemudian menyatakan bahwa kepemilikan kapal oil and gas sebagai sesuatu yang "sulit".

    orang - orang indonesia yang bekerja di persh. oil and gas asing semestinya bisa melihat momentum ini sebagai kebangkitan pelayaran nasional.

    bukannya mengeluhkan...

    kasihan Indonesia

    ReplyDelete