May 8, 2009

Pelayaran masih butuh intervensi

Pelayaran masih butuh intervensi
1 Tahun UU Pelayaran belum tuntaskan hambatan

Hari ini, Undang-undang (UU) Pelayaran tepat berusia 1 tahun. UU yang merupakan titik balik bagi industri pelayaran nasional itu diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Mei 2008.

Dalam kurun waktu 1 tahun, gairah industri pelayaran semakin kelihatan, apalagi UU itu mengokohkan spirit asas cabotage yang mewajibkan angkutan komoditas domestik menggunakan kapal berbendera Indonesia, mulai diterapkan secara penuh pada 1 Januari 2011.

Sejauh ini, asas cabotage memberikan dampak positif bagi pelaku pelayaran kendati implementasinya cukup problematik. Hal itu dapat dilihat dari angka pengadaan kapal nasional yang cenderung naik, terutama dalam 4 tahun terakhir.

Data Departemen Perhubungan mengungkapkan jumlah armada niaga nasional sampai triwulan I/ 2009 mencapai 8.387 unit atau bertambah 2.346 unit (38,83%) dibandingkan dengan kondisi pada periode yang sama 4 tahun lalu sebanyak 6.041 unit.

Selain itu, terjadi pergeseran penguasaan pangsa muatan dalam negeri dari sebelumnya didominasi asing menjadi dikuasai kapal berbendera nasional meskipun untuk komoditas tertentu, masih dikuasai asing.

Berdasarkan data Dephub, pada 2005 pelaku pelayaran nasional baru mengangkut 114,5 juta ton dari total pangsa 206,3 juta ton atau menguasai 55,5% pangsa muatan domestik. Pada 2008, penguasaan pelayaran nasional menjadi 192,8 juta ton atau menguasai 77,7% dari total 242,9 juta ton pangsa muatan dalam negeri.

Kondisi itu bertolak belakang dengan perkembangan pangsa muatan pelayaran nasional untuk angkutan laut luar negeri yang tidak dikenai kewajiban menerapkan asas cabotage. Saat ini, pangsa muatan pelayaran nasional untuk angkutan luar negeri baru 7,1% atau naik 2,1% jika dibandingkan dengan posisi 2005 yang tercatat 5,0%.

Pangsa muatan angkutan laut di dalam negeri (%)

AsingDomestik
200544,555,5
200638,761,3
200734,765,3
200822,377,7
Sumber: Dephub

Terbitnya UU Pelayaran memang kian memperkuat Inpres No.5/2005. Substansi kedua regulasi itu adalah bagaimana mengamankan pelayaran dalam negeri dari serbuan asing dengan menggerakan sejumlah sektor penting, di antaranya perdagangan.

Untuk mendukung kebijakan itu, presiden meminta agar muatan pelayaran antarpelabuhan di dalam negeri diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional.

Adapun, di sektor perpajakan, presiden menginstruksikan penataan kembali pelaksanaan berbagai kebijakan yang ada guna memberikan fasilitas perpajakan kepada industri pelayaran dan perkapalan.

Selain itu, di sektor pembiayaan, perbankan nasional ataupun lembaga pembiayaan diminta berperan aktif dalam penyediaan pendanaan bagi pengembangan industri pelayaran nasional.

Bahkan, pemerintah menyiapkan ancaman pidana bagi operator asing yang melanggar penerapan asas cabotage yang tertuang di dalam pasal 284 UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran itu.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Dephub Leon Muhammad menegaskan ancaman pidana itu untuk mengantisipasi masuknya kapal-kapal asing ke wilayah perairan Indonesia, menyusul merosotnya muatan kapal di luar negeri.

Tidak signifikan

Namun, Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Paulis A. Djohan menilai kinerja sektor-sektor itu tidak signifikan dampaknya terhadap kemajuan pelayaran nasional.

Menurut dia, pengembangan sektor pelayaran masih menghadapi banyak hambatan sehingga kinerja pelaku usaha dalam mengejar target penerapan asas cabotage seperti yang diamanatkan UU, belum optimal.

Kondisi itu dikhawatirkan bakal berdampak terhadap kinerja pelayaran nasional yang dalam 2 tahun ke depan harus mampu mengambil alih seluruh angkutan komoditas dalam negeri, termasuk angkutan minyak dan gas (migas), batu bara, dan kegiatan lepas pantai atau offshore.

Sesuai dengan roadmap asas cabotage, ada 13 jenis barang atau muatan antarpelabuhan dan kegiatan offshore di dalam negeri yang wajib dilayani kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan perusahaan dalam negeri paling lambat 1 Januari 2011.

Komoditas itu adalah migas, kargo umum, batu bara, kayu, beras, crude palm oil (CPO), pupuk, semen, bahan galian, biji-bijian, muatan cair dan bahan kimia, bijian hasil pertanian, serta produk segar.

Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) INSA Johnson W. Sujipto mengatakan untuk angkutan komoditas batu bara, pelaku usaha sudah berhasil menerapkan roadmap asas cabotage sejak awal tahun ini.

Kini, katanya, anggota INSA tengah menyiapkan armada pengganti kapal asing untuk angkutan migas dan kegiatan offshore, bahkan 46 anggota INSA sedang mencari pendanaan pengadaan kapal baru dan bekas.

"Kami optimistis asas cabotage untuk angkutan migas dan kegiatan offshore dapat dipenuhi sesuai dengan tenggat waktu yang tetapkan pemerintah," tutur Johnson.

Namun, dia mengakui pengusaha pelayaran kesulitan dalam memenuhi target penerapan asas cabotage secara penuh karena adanya kendala serius berupa lemahnya dukungan dari sektor usaha lainnya.

Dalam seminar pelayaran belum lama ini, Johnson menggambarkan betapa sulitnya pelayaran mendapatkan pendanaan dari perbankan dalam negeri untuk pengadaan kapal baru atau bekas, apalagi sampai kepada tahap meminta bunga rendah.

Di sisi lain pelaku usaha pelayaran belum bisa terlalu berharap masuknya lembaga pembiayaan asing ke sektor perkapalan di Indonesia karena negara ini belum menerapkan konvensi internasional tentang penahanan kapal atau arrest of ship.

Menurut dia, jika perbankan atau lembaga pembiayaan memiliki kemauan yang tinggi untuk memanfaatkan momentum penerapan asas cabotage, porsi kredit di sektor industri pelayaran yang saat ini baru 1,52% bisa diperbesar.

Di sisi lain pengusaha juga kesulitan mendapatkan kontrak sewa jangka panjang (multiyears) dari perusahaan migas yang dikuasai negara, sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh lembaga pembiayaan atau perbankan.

Oleh karena itu, penerapan asas cabotage pada komoditas migas dan offshore masih memerlukan kemauan politik pemerintah yang kuat, terutama dalam mengintervensi pemilik komoditas agar memberikan kontrak sewa kapal jangka panjang kepada operator.

Kemauan politik pemerintah juga diperlukan untuk mendorong lembaga pembiayaan dan perbankan agar memperbesar porsi kredit di sektor pelayaran dengan suku bunga yang lebih kompetitif.

Dengan demikian, lambat laun pelayaran nasional kembali merajai laut, khususnya di kawasan Asia, seperti yang diimpikan di dalam UU Pelayaran ataupun Inpres No. 5/2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. (tularji@bisnis.co.id)

Oleh Tularji
Wartawan Bisnis Indonesia

Bisnis Indonesia Harian, 07 Mei 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=07-MAY-2009&inw_id=671915

No comments:

Post a Comment