July 30, 2009

Ratifikasi asas penahanan kapal tunggu perbaikan naskah


Ratifikasi asas penahanan kapal tunggu perbaikan naskah

JAKARTA: Departemen Luar Negeri mendesak Departemen Perhubungan merampungkan perbaikan naskah akademis ratifikasi asas penahanan kapal atau arrest of ship agar bisa segera disampaikan kepada Presiden.

Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan dalam naskah akademis yang diajukan kepada Deplu belum lama ini, masih ada perbaikan yang harus dilakukan Dephub.

“Ternyata naskah ratifikasi arrest of ship itu masih harus diperbaiki oleh Dephub, terutama hasil terjemahan 45 kopi dokumen penahan kapal ke dalam bahasa Indonesia karena masih ada yang tidak tepat,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Ratifikasi arrest of ship merupakan kelanjutan dari ratifikasi konvensi internasional tentang hipotek atas kapal (mortgage law). Arrest of ship merupakan ketentuan internasional tentang penahanan kapal yang disepakati dalam konvensi internasional pada 1999.

Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada lembaga pembiayaan atau perbankan melakukan penahanan kapal milik debitur yang melanggar ketentuan atau wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya kepada kreditur.

Ratifikasi konvensi internasional mengenai penahanan kapal merupakan salah satu rencana aksi yang disiapkan oleh pemerintah agar industri pelayaran nasional memperoleh pendanaan guna pengadaan kapal.

Faizasyah menjelaskan departemennya sudah menginformasikan hasil koreksian tersebut dalam rapat interdep yang digelar 4 bulan lalu, tetapi hingga saat ini naskah akademis hasil perbaikan belum masuk ke Deplu.

Dia menambahkan selain soal terjemahan 45 kopi dokumen, Deplu juga meminta Dephub agar naskah akademis itu dapat merefleksikan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. “Naskah itu belum merefleksikan UU tentang Pelayaran,” katanya.

Menurut dia, hingga saat ini naskah hasil perbaikan belum diterima dari Dephub sehingga pihaknya belum meneruskan kepada Presiden. Faizah membantah departemennya mempersulit keluarnya perpres ratifikasi arrest of ship, justru sebaliknya Deplu ingin agar naskah akademis itu sempurna sehingga tidak dikembalikan lagi ke Dephub setelah diajukan kepada Presiden.

“Draf surat pengantarnya sudah disiapkan, bahkan semua yang dibutuhkan sudah siap, tinggal lampirannya itu [naskah ratifikasi arrest of ship]. Begitu naskah hasil perbaikan itu masuk, langsung dikirim ke Setneg,” ujarnya.

Faizasyah menegaskan proses ratifikasi asas penahanan kapal tidak harus melalui parlemen karena ketentuan asas arrest of ship cukup diatur dengan peraturan presiden (perpres).

Jaminan hukum

Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Direktorat Perhubungan Laut Dephub Leon Muhamad mengatakan ratifikasi asas penahanan kapal bertujuan untuk memberikan jaminan hukum bagi penyedia pembiayaan di sektor pelayaran.

Menurut dia, penyelesaian proses ratifikasi itu sangat mendesak guna mendukung penerapan penuh asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) secara penuh mulai 1 Januari 2011.

Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners' Association (DPP INSA) mengindikasikan bank asing siap membiayai pengadaan 127 kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan lepas pantai serta angkutan minyak dan gas (migas).

Ketua Umum DPP INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan perusahaan pelayaran nasional membutuhkan pembiayaan untuk pengadaan 127 kapal senilai US$6,5 miliar guna menggantikan peran asing pengangkut migas.

Menurut dia, pelayaran asing menikmati US$1,385 miliar per tahun dari pengoperasian 127 kapal itu untuk kegiatan lepas pantai dan migas.

Oleh Tularji
Bisnis Indonesia, 24 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=24-JUL-2009&inw_id=686568

10 Perusahaan pilih INSA


TRANSIT

10 Perusahaan pilih INSA

JAKARTA: Sebanyak 10 perusahaan pelayaran nasional yang bergerak di bidang lepas pantai atau off-shore memutuskan mundur dari Indonesian Offshore Shipping Association (IOSA) dan kembali bergabung menjadi anggota Indonesian National Shipowners’ Association (INSA).

“Sampai saat ini ada 10 perusahaan pelayaran off-shore yang menyatakan hanya bergabung dengan INSA, bukan asosiasi lain di luar itu [IOSA],” ujar Ketua Umum DPP INSA Johnson W.Sucipto kepada Bisnis, kemarin.

Dia mengungkapkan sejak pekan lalu INSA mengirimkan surat resmi kepada 34 perusahaan pelayaran off-shore anggotanya yang juga bergabung dengan IOSA. (Bisnis/k1)

Bisnis Indonesia, 28 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=28-JUL-2009&inw_id=687123

Usaha maritim diminta aktif garap migas


Usaha maritim diminta aktif garap migas

SURABAYA: Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mendorong sektor usaha maritim nasional untuk semakin banyak terlibat dalam industri migas karena besarnya peluang usaha di sektor strategis itu.

Kepala Divisi Penunjang Operasi BP Migas Budi Indiyanto mengungkapkan jumlah kapal yang beroperasi untuk semua kegiatan hulu migas nasional kini sebanyak 613 unit dengan 541 kapal di antaranya berbendera Indonesia, sedangkan sisanya berbendera asing.

Menurut dia, kapal-kapal itu digunakan oleh sekitar 51 wilayah kerja migas yang ditangani oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang telah memasuki tahap eksploitasi.

“Dari 189 wilayah kerja migas secara nasional, ada 51 yang telah berproduksi, 124 memasuki tahap eksplorasi, 14 dalam tahap development [pengembangan]. Beberapa yang kini tahap eksplorasi akan segera memasuki produksi. Ini peluang yang mesti ditangkap oleh industri maritim nasional, jangan malah ditangkap asing,” katanya seusai rapat kerja BP Migas dan pelaku usaha industri perkapalan dan lepas pantai, kemarin.

Selain itu, Budi mengungkapkan pada 2015 akan ada proses pengelolaan proyek migas lepas pantai (off shore) di Wanane, Selat Timor, senilai US$11,5 miliar yang akan memasuki tahap produksi.

Sementara itu, Direktur Utama PT PAL yang juga Ketua Ikatan Perusahaan Perkapalan dan Industri Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Harsusanto mengatakan pihaknya merespons positif sinergi antara BP Migas dan asosiasinya.

Menurut dia, peluang usaha sektor migas yang bisa dimasuki oleh industri perkapalan dan lepas pantai nasional semakin besar sehingga mesti disiapkan secara sistematis agar potensi dan kebutuhan yang ada bisa dipertemukan. Iperindo segera memetakan potensi industri galangan nasional untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kapal migas baru.”

Harsusanto mengakui industri lepas pantai yang merupakan penunjang sektor migas masih kesulitan karena sekitar 80% dari komponen industri itu masih bergantung pada impor. “Ini beda dengan Jepang dan Korea Selatan yang mayoritas telah menggunakan konten lokal.”

Dia menambahkan Iperindo berharap dapat menggarap 25% dari peluang investasi proyek migas sektor hulu yang diperkirakan mencapai US$1 miliar. “Artinya, dengan 25% nilainya mencapai US$250 juta,” katanya.

Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Johnson W. Sujipto menambahkan pemberlakuan sistem pembayaran progresif oleh industri galangan kapal nasional sangat memberatkan anggota asosiasinya yang memesan kapal baru. (k21/Marlina A. Jobs)

Bisnis Indonesia, 28 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=28-JUL-2009&inw_id=687122

July 27, 2009

Audit 3 bulanan fokus ke kapal feri


Audit 3 bulanan fokus ke kapal feri


JAKARTA: Pemerintah hanya memfokuskan kapal penumpang penyeberangan antarpulau jenis roll on-roll off (roro) sebagai objek audit perawatan kapal setiap 3 bulan pada tahap awal penerapan kebijakan itu.

Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Bobby R. Mamahit mengatakan strategi itu untuk memeriksa kesiapan kapal penyeberangan menjelang masa angkutan Lebaran tahun ini.

Dia menegaskan kapal feri menjadi fokus objek pemeriksaan karena angkutan laut itu selama ini banyak mengalami kasus yang terkait dengan keamanan dan keselamatan.

“Kami membentuk lima tim dari petugas pusat untuk melakukan audit 3 bulanan, dengan konsentrasi di lintasan penyeberangan karena sudah mendekati hari raya,” katanya, akhir pekan lalu.

Bobby mengungkapkan kelima tim itu akan difokuskan untuk melakukan audit di tujuh lintasan penyeberangan yang berada di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur.

Dephub mulai menerapkan audit perawatan 3 bulanan kapal penumpang pada pekan lalu. Pelaksanaan audit itu menggunakan sistem acak di setiap wilayah dengan menerjunkan petugas di daerah, yang dibantu oleh petugas pusat apabila terdapat kasus teknis yang memerlukan keahlian khusus.

Wakil Ketua Indonesia Ferry Companies Association (IFA) Bambang Harjo menuturkan sebenarnya setiap kapal penyeberangan yang akan berlayar sudah harus memenuhi persyaratan kelaikan dalam pemeriksaaan teknis serta aspek keselamatan dan muatan angkutan.

“Kalau Dephub sudah memberlakukan audit 3 bulanan ya mau bagaimana lagi. Namun, perlu diingat setiap kapal feri sudah harus melalui pemeriksaan ketat yang dilakukan oleh kesyahbandaran untuk mendapatkan surat izin berlayar [SIB],” tegasnya.

Dia menuturkan sebaiknya audit hanya dilakukan pada saat musim liburan atau dalam menyambut Idulfitri.

Menurut Bambang, audit juga sebaiknya ditekankan kepada pelatihan bagi anak buah kapal (ABK) sehingga para awak kapal bisa memperoleh arahan-arahan mengenai prosedur yang benar dari regulator.

“Karena sekitar 80% kecelakaan itu disebabkan human error. Lagipula, pemeriksaan aspek teknis juga sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada, yakni sebelum berlayar, kapal sudah harus melalui pemeriksaan yang ketat,” paparnya.

Dia menambahkan setiap kapal juga harus melalui pemeriksaan tahunan yang mencakup pemeriksaan lambung kapal dan mesin yang dilakukan oleh Badan Klasifikasi Indonesia (BKI).

Diperluas

Bobby mengatakan setelah memeriksa angkutan penyeberangan, objek audit 3 bulanan diperluas ke semua jenis kapal, termasuk angkutan barang. “Kalau kapal feri sudah diaudit semua, kami juga akan memeriksa jenis lainnya, termasuk kapal angkutan barang,” ujarnya.

Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Johnson W. Sutjipto mengatakan asosiasinya menolak kebijakan audit 3 bulanan apabila pemeriksaan juga mencakup kapal angkutan barang.

Menurut dia, selama ini operasional dari kapal angkutan barang belum pernah mengalami masalah dalam hal keselamatan dan keamanan yang parah.

“Kami mendukung audit 3 bulanan yang dilakukan Dephub, sejauh itu hanya mencakup kapal penumpang. Kalau kapal angkutan barang tidak perlu, karena belum pernah mengalami kecelakaan yang berarti sehingga menandakan perawatan sudah benar-benar ketat,,” tegasnya.

Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan sebaiknya Dephub memaparkan hasil audit 3 bulanan tersebut kepada publik sehingga masyarakat mengetahui kualifikasi teknis dan neraca keuangan dari operator angkutan laut.

Gagasan audit 3 bulanan pertama kali dilontarkan oleh Menhub Jusman Syafii Djamal pada awal Juni 2009, menyusul berulangnya kasus kapal terbakar milik PT Prima Vista, yakni KM Titian Nusantara pada 2007 dan KM Mandiri Nusantara pada tahun ini.

Oleh Raydion Subiantoro
Bisnis Indonesia, 27 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=27-JUL-2009&inw_id=686910

Gelombang Perairan Papua Berkisar 3 - 4 Meter


Gelombang Perairan Papua Berkisar 3 - 4 Meter


Jayapura
(ANTARA News) - Gelombang perairan Papua, yakni Laut Arafuru dan perairan selatan Merauke diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berkisar 3 hingga 4 meter sepanjang Minggu (26/7) sampai Senin (27/7).

BMKG yang prakiraannya dipantau di Jayapura, Sabtu pagi menyebutkan tinggi gelombang yang sama juga berpeluang terjadi di perairan selatan Banten hingga Jawa Tengah, perairan Kepulauan Kai, perairan Kepulauan Tanimbar serta perairan Kepulauan Aru.

Sedangkan tinggi gelombang 2 - 3 meter kemungkinan terjadi di Laut Cina Selatan, perairan utara Aceh, perairan barat Bengkulu hingga Lampung, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Jawa Timur hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selanjutnya di Laut Timor, Laut Jawa, Selat Makassar bagian selatan, perairan Kepulauan Sangihe Talaud, Laut Banda, Laut Buru hingga Laut Seram, Laut Maluku serta Laut Halmahera.

Sementara di Laut Andaman dan Samudera Hindia selatan Jawa Barat, tinggi gelombang diprediksikan mencapai 4 - 5 meter.

Peringatan dini dikeluarkan BMKG hingga Rabu (29/7) untuk sejumlah wilayah perairan yang diperkirakan mencapai 2 - 3 meter, yakni di Laut Cina Selatan, perairan barat Aceh, perairan barat Bengkulu hingga Lampung, perairan Mentawai, Selat Karimata dan Laut Jawa.

Berikutnya, Selat Makassar bagian selatan, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Bali hingga NTB, Laut Maluku, perairan selatan Ambon, perairan utara Sangihe Talaud, Laut Halmahera, Laut Sawu serta Laut Timor.

Peringatan yang sama juga berlaku untuk perairan utara Aceh, perairan selatan Jawa, Laut Banda, perairan Kepulauan Aru, Kai dan Tanimbar serta Laut Arafuru yang tinggi gelombangnya berkisar 3 - 4 meter.

Sedangkan di Laut Andaman, peringatan dini dikeluarkan karena gelombang mencapai 4 - 5 meter.

Sementara itu, prakiraan cuaca untuk sejumlah daerah di Papua hingga esok Selasa (28/7) menunjukkan hujan dengan suhu bervariasi.

Di Jayapura dan Sorong diperkirakan terjadi hujan ringan dengan suhu masing-masing 25 - 31 derajat dan 24 - 31 derajat selsius.

Perkiraaan yang sama juga berlaku untuk Manokwari dengan suhu minimum 24 dan maksimum 31 derajat.

Adapun di Biak, hujan sedang dengan suhu berkisar 24 - 29 derajat. Sedangkan cuaca berawan, mungkin terjadi di Merauke dengan suhu 23 - 31 derajat selsius.(*)

Peringatan dini adanya hujan deras disertai kilat dan angin kencang berlaku sampai dengan hari ini di pesisir timur Sumatera bagian tengah, Sumatera bagian tengah, Maluku bagian Utara dan Tengah serta Papua bagian barat.***3***(PSO-124/27/7/2009)

COPYRIGHT © 2009

Antara News, 27 Juli 2009

http://www.antaranews.com/berita/1248641349/gelombang-perairan-papua-berkisar-3--4-meter

July 21, 2009

INSA larang keanggotaan ganda


INSA larang keanggotaan ganda

JAKARTA: INSA melarang anggotanya yang bergerak di bidang pelayaran lepas pantai (off-shore) mengantongi keanggotaan ganda di organisasi selain asosiasi perusahaan pelayaran itu.

Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Johnson W.Sucipto mengatakan pihaknya segera melakukan pendataan ulang terhadap anggotanya yang bergerak pada usaha pelayaran off-shore.

Menurut dia, selain untuk menghindari keanggotaan ganda, pendataan ulang juga diharapkan bisa mempermudah konsolidasi antarperusahaan pelayaran off-shore anggota INSA dalam menyukseskan asas cabotage (muatan domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) mulai 1 Januari 2011.

Dia mengatakan pihaknya segera mengirimkan surat resmi kepada seluruh perusahaan pelayaran off-shore nasional yang masih tercatat sebagai anggota INSA sekaligus Indonesian Offshore Shipping Association (IOSA).

“Kami berikan opsi kepada perusahaan-perusahan pelayaran tersebut untuk menentukan sikap tegas dan silakan memilih apakah ingin bergabung dengan INSA atau memilih asosiasi lain [IOSA]. Kami menegaskan tidak mentolerir keanggotaan ganda,” ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Dia juga membantah pernyataan Ketua Umum IOSA Budi H.M Siregar yang menyebutkan jumlah anggota asosiasi pelayaran off-shore tersebut kini 37 perusahaan dengan tiga di antaranya juga merupakan anggota INSA.

“Justru 34 perusahaan pelayaran yang direkrut oleh IOSA itu sampai saat ini masih tercatat sebagai anggota INSA bidang lepas pantai. Oleh karena itu, kami meminta kepada 34 perusahaan pelayaran tersebut menentukan pilihannya, apakah ingin bergabung dengan INSA atau IOSA,” katanya.

Johnson menuturkan kebijakan INSA itu dalam rangka mempertegas posisi organisasi tersebut dalam menolak rencana pelaksanaan registrasi kapal terbuka (open registry) yang sedang dikaji oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan.

“Kami tetap menolak [open registry] karena akan menjadikan Indonesia sebagai negara berbendera kapal kemudahan [flag of convenience/FoC], sekaligus menggagalkan asas cabotage,” tegasnya.

Dia mengungkapkan INSA memiliki bukti bahwa usulan open registry dan FoC diwacanakan oleh IOSA dalam pertemuan asosiasi itu dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 9 Juni 2009.

Dibantah

Saat dikonfirmasi Ketua Umum IOSA Budi H.M.Siregar mengatakan hingga saat ini pihaknya belum pernah secara resmi menyampaikan usulan apa pun kepada instansi mana pun terkait dengan open registry ataupun FoC.

Dia mengatakan pertemuan IOSA di BKPM pada 9 Juni 2009 itu hanya dalam rangka mempelajari pemikiran-pemikiran guna memperoleh kapal berbendera Indonesia bidang off-shore seiring dengan semakin dekatnya batas waktu pemenuhan asas cabotage pada Januari 2011.

“Tolong dibuktikan kalau ada usulan kami yang mendorong open registry. Kami menilai INSA hanya mencari kambing hitam atas masalah ini,” tegasnya.

Dalam dokumen pertemuan IOSA dan BKPM pada 9 Juni 2009 yang diperoleh Bisnis menyebutkan IOSA mengungkapkan tiga permasalahan yang mesti disikapi oleh pemerintah dalam rangka menunjang kegiatan sektor minyak dan gas bumi (migas) seiring dengan pemenuhan asas cabotage.

Pertama, hingga saat ini masih ada 80 kapal off-shore di dalam negeri yang sebagian besar beroperasi menggunakan bendera kemudahan, tetapi belum ada sumber dana untuk menggantikan kapal itu.

Kedua, pemilik kapal asing tidak bersedia menjadikan kapal mereka berbendera Indonesia. Ketiga, perbankan lokal belum reaktif menyalurkan kredit usaha pelayaran nasional, sedangkan investor luar negeri enggan menanamkan modalnya dengan keharusan kapal berbendera Merah Putih. (k1)

Bisnis Indonesia, 21 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=21-JUL-2009&inw_id=685762

Seluruh pelabuhan terapkan tally


Seluruh pelabuhan terapkan tally

JAKARTA: Departemen Perhubungan akhirnya memberlakukan kegiatan pencatatan dan penghitungan keluar masuk barang dan peti kemas atau tally independen di seluruh pelabuhan Indonesia.

Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Dephub Sunaryo No. KN.42/1/8/DTPL-09 tanggal 15 Juli 2009 tetang Mekanisme Pembayaran Tarif Pelayanan Jasa Tally di Pelabuhan.

Dalam SK yang diperoleh Bisnis itu juga menegaskan pelaksanaan tally di seluruh pelabuhan Indonesia agar dapat dilaksanakan setelah SK Dirjen Perhubungan Laut itu ditetapkan.

SK itu juga mengatur mengenai mekanisme pembayaran jasa tally untuk kegiatan pemuatan dan pembongkaran kargo di pelabuhan. Untuk kegiatan bongkar, pembayaran jasa tally harus sudah diselesaikan sebelum barang dikeluarkan dari pelabuhan.

Dalam hal ini, perusahaan tally harus membuat nota tagihan kepada pemilik barang berdasarkan pelayanan jasa tally yang telah diberikan sesuai dengan dokumen yang telah ditandatangani oleh nakhoda (mualim I) dan perusahaan bongkar muat.

Selanjutnya, pemilik barang atau kuasanya diwajibkan membayar tarif pelayanan jasa tally berdasarkan nota tagihan perusahaan tally independen di lokasi bersangkutan, sebelum barang dikeluarkan dari pelabuhan.

Adapun, untuk kegiatan pemuatan, pemilik barang atau kuasanya diharuskan membayar uang pertanggungan terlebih dahulu yang besarannya dihitung berdasarkan jumlah barang sesuai dengan dokumen shipping instruction, surat jalan, atau pemberitahuan ekspor kepada perusahaan tally bersangkutan.

Selanjutnya, perusahaan tally membuat nota tagihan kepada pemilik barang berdasarkan dokumen yang telah ditandatangani oleh nakhoda kapal dan perusahaan bongkar muat atau terminal operator.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Tally Mandiri Indonesia (APTMI) F.S. Popal saat dikonfirmasi Bisnis mengatakan pihaknya menyambut positif keluarnya aturan tersebut.

“Kami sudah mendapatkan tembusannya. Segera kegiatan tally bisa kami lakukan, paling lambat per 1 Agustus 2009 semuanya sudah bisa berjalan, termasuk di Tanjung Priok,” tutur Popal.

Menurut dia, tarif jasa pelayanan kegiatan tally masih mengacu pada kesepakatan tarif yang telah ditandatangani oleh asosiasi penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan, beberapa waktu lalu. (k1)

Bisnis Indonesia, 21 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=21-JUL-2009&inw_id=685761

Kontrak kapal asing segera diubah


Kontrak kapal asing segera diubah
Penggantian bendera kapal tunda dan tongkang didahulukan

JAKARTA: BP Migas akhirnya bersedia merevisi kontrak kapal asing yang beroperasi pada kegiatan lepas pantai (off-shore) yang disesuaikan dengan jadwal penerapan asas cabotage.

Hal itu terungkap dalam rapat pelaksanaan asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) untuk angkutan laut serta kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) yang digelar oleh Direktorat Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, Jumat.

Rapat itu dihadiri oleh Dirjen Perhubungan Laut Dephub Sunaryo, Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Leon Muhamad, Ketua DPP INSA Johnson W. Sujipto, Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA Paulis A. Djohan, dan Kepala Divisi Operasi Penunjang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Budi Indianto.

Leon mengatakan dalam rapat itu Dephub memang meminta BP Migas merevisi kontrak kapal asing yang masa berlakunya melampaui roadmap asas cabotage.

”Bapak Dirjen [Dirjen Perhubungan Laut Sunaryo] meminta BP Migas melalui kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) merevisi kontrak yang ada karena klausul dalam kontrak itu bisa diamendemen, dan BP Migas bisa memahami hal itu,” katanya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis, hingga April 2009 terdapat sembilan kapal KKKS yang masih menggunakan bendera asing dengan masa kontrak melampaui tenggat pelaksanaan asas cabotage secara penuh pada 1 Januari 2011.

Kesembilan kapal itu yakni Facific Lion III, CNOOC-114 Tanker, FSO Federal I, Shanghai, Seagood 101, Neon, Searex IV, Parameswara, dan Amber.

Dalam dokumen itu juga terungkap BP Migas masih memberikan kontrak kerja sama angkutan migas kepada tiga kapal berbendera asing melebihi tenggat pelaksanaan asas cabotage.

Ketiga kapal tersebut adalah Seagood 101 dan Neon yang dikontrak oleh Santos Pty Pld serta kapal Parameswara yang dikontrak oleh Total E&P Indonesia.

Kontrak kapal Seagood 101 yang berbendera Singapura berlaku dari 1 September 2008 sampai 1 September 2014, sedangkan kapal Neon yang juga berbendera Singapura berlaku dari 2009 hingga 2012.

Adapun, kontrak Parameswara yang berbendera Vanuatu berlaku dari 21 November 2008 sampai 20 November 2012.

Leon menegaskan Dephub telah meminta BP Migas mendukung secara penuh pelaksanaan Inpres No.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan roadmap asas cabotage sesuai dengan UU No.17/2008 tentang Pelayaran.

Segera diganti

Dia menambahkan dalam rapat pelaksanaan asas cabotage juga disepakati kapal-kapal ringan yang masih berbendera asing, seperti armada jenis kapal tunda dan tongkang segera diganti dengan kapal berbendera Indonesia.

”Sementara itu, proses pergantian bendera bagi kapal-kapal asing yang memerlukan kelengkapan teknologi tinggi akan dicarikan solusinya tanpa harus melanggar ketentuan asas cabotage,” tutur Leon.

Menhub Jusman Syafii Djamal sebelumnya menegaskan departemennya tidak akan memberikan kelonggaran terhadap pemegang kontrak kapal yang melebihi tenggat pelaksanaan asas cabotage secara penuh pada 1 Januari 2011.

Jusman juga meminta BP Migas agar ikut menyosialisasikan asas cabotage dan membuat kebijakan supaya pelayaran asing yang bergerak di sektor migas dalam negeri dapat memenuhi aturan itu.

Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan aturan yang ditetapkan hendaknya tidak mengganggu operasional sektor migas karena akan merugikan negara, apalagi kapal berbendera asing yang digunakan oleh KKKS merupakan kontrak yang sudah telanjur ada.

”Kalau sudah telanjur kontrak, kemudian mesti dihentikan bagaimana dengan liability-nya. Kami sudah berbicara dengan Menhub di Bandung, dan pada prinsipnya beliau wellcome,” ujarnya.

Berdasarkan roadmap asas cabotage, kewajiban angkut komoditas di dalam negeri menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk migas dan batu bara paling lambat pada 1 Januari 2010, sedangkan angkutan lepas pantai pada 1 Januari 2011. (tularji@bisnis. co.id)

Oleh Tularji
Bisnis Indonesia, 21 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=21-JUL-2009&inw_id=685760

July 13, 2009

Halmahera Selatan subsidi kapal


TRANSIT

Halmahera Selatan subsidi kapal

TERNATE: Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, memberikan subsidi bagi kapal laut yang secara reguler melayani daerah pesisir dan pulau terpencil, sebagai upaya meningkatkan pelayanan transportasi laut di daerah itu.

”Sekarang ini ada satu kapal laut yang kita beri subsidi untuk secara reguler melayani daerah pesisir dan pulau-pulau terpencil di Halmahera Selatan,” kata Kepala Dinas Perhubungan Halmahera Selatan Zulfikra B. Duwila, akhir pekan lalu.

Subsidi kapal itu dilakukan dengan cara menghitung selisih (kekurangan) antara pendapatan yang diperoleh oleh pemilik kapal saat melayani daerah terpencil dan biaya operasional yang dikeluarkan. Pengusaha kapal laut selama ini enggan melayani daerah pesisir dan pulau-pulau terpencil karena biaya operasional yang dikeluarkan jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh. (Antara)

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=13-JUL-2009&inw_id=684372

Pencalonan Dewan IMO agar disiapkan sejak dini


Pencalonan Dewan IMO agar disiapkan sejak dini


JAKARTA: Pemilik kapal nasional meminta Departemen Perhubungan mempersiapkan sejak dini pencalonan Indonesia menjadi anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) periode 2009-2011.

Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Johnson W. Sucipto mengatakan posisi Dewan IMO akan mendukung peran Indonesia dalam penentuan regulasi pelayaran internasional.

“Pemilihan Dewan IMO akan bergantung pada kekuatan lobi-melobi negara karena yang memilih negara lain,” katanya akhir pekan lalu.

Saat ini, menurutnya, Dephub seharusnya mampu mengukur kemampuan lobi pemerintah dengan negara lain, guna memperlancar proses pemilihan Dewan IMO di London, Inggris, pada November 2009.

Kekuatan lobi itu, paparnya, akan menentukan posisi Indonesia di Dewan IMO periode 2009-2011. “Apakah menjadi anggota Dewan IMO di kategori B atau di kategori C, semua bergantung pada lobi,” ujar Johnson.

Dia menegaskan INSA mendukung pencalonan Indonesia menjadi anggota Dewan IMO karena posisi organisasi itu sangat penting dalam penentuan regulasi pelayaran dunia.

Selama ini, tutur Johnson, industri pelayaran nasional diuntungkan dengan posisi Indonesia menjadi anggota Dewan IMO periode sebelumnya sehingga posisi itu harus dipertahankan.

Sementara itu, Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Jakarta Siswanto Rusdi menilai Indonesia seharusnya meningkatkan peran permanent representative Indonesia di Dewan IMO.

Menurut Siswanto, beberapa negara anggota Dewan IMO negara lain menempatkan perwakilan setingkat duta besar yang terpisah dari duta besar yang bersifat politis.

Selama ini, permanent representative Indonesia di Dewan IMO adalah Duta Besar RI di London, tetapi mayoritas sidang Dewan IMO dihadiri oleh Atase Perhubungan setingkat eselon III di Dephub.

“Padahal, Atase Perhubungan harus menghadiri sidang Dewan IMO yang berlangsung 36 minggu hingga 40 minggu per tahunnya,” tutur Siswanto.

Kasubag Humas Ditjen Perhubungan Laut Dephub Bambang Sutisna menyatakan Dephub menargetkan Indonesia menjadi anggota Dewan IMO periode 2009-2011 dalam sidang majelis IMO di London, Inggris.

Oleh Hendra Wibawa
Bisnis Indonesia, 13 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=13-JUL-2009&inw_id=684370

Dephub siap cegah penyelundupan


Dephub siap cegah penyelundupan

JAKARTA: Departemen Perhubungan akan berkoordinasi dengan Ditjen Bea dan Cukai untuk merumuskan formulasi yang efektif dalam mencegah penyelundupan barang melalui kapal penumpang dari Batam ke Tanjung Priok, Jakarta.

Menhub Jusman Syafii Djamal mengatakan Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi telah mengirimkan surat ke Dephub, yang salah satu isinya mengusulkan agar rute kapal penumpang Batam-Tanjung Priok ditutup untuk menghilangkan penyelundupan barang.

Namun, menurutnya, Dephub menilai masih ada cara lain yang lebih efektif untuk mereduksi penyelundupan barang di rute itu, karena kapal penumpang masih diperlukan untuk melayani masyarakat.

“Surat dari Dirjen Bea Cukai salah satunya menginginkan agar tidak ada lagi jalur itu [Batam-Tanjung Priok]. Menurut saya, tidak bisa karena bukan kapalnya yang harus dihilangkan, tetapi ya penyelundupannya,” ujarnya pekan lalu.

Direktur Utama PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Jussabella Sahea sebelumnya mengakui adanya penyelundupan melalui kapal penumpang, terutama dari Batam ke Tanjung Priok yang dibawa oleh pedagang antarpulau.

Dia menuturkan Pelni kesulitan mencegah penyelundupan tersebut karena barang-barang itu diangkut oleh buruh pelabuhan. Sebetulnya, menurut Jussabella, keberadaan barang ilegal itu sangat mengganggu kenyamanan penumpang kapal laut karena menyita sebagian besar ruangan kelas ekonomi.

“Namun, petugas Pelni di darat ataupun di kapal tidak berdaya mencegah barang itu naik ke kapal karena dibenturkan dengan buruh pelabuhan yang bisa bebas masuk terminal penumpang di Batam,” katanya.

Sementara itu, Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan tingkat pergerakan lalu lintas transportasi berbanding lurus terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga seharusnya tidak dilakukan penutupan rute kapal penumpang Batam-Tanjung Priok.

Menurut dia, pemerintah hanya perlu memperketat pengawasan dan pemeriksaan di pelabuhan untuk mencegah penyelundupan. Cara itu, papar Danang, lebih efektif dalam mereduksi penyelundupan barang daripada menutup rute pelayaran yang ada.

Oleh Raydion Subiantoro
Bisnis Indonesia, 13 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=13-JUL-2009&inw_id=684369

Open registry kapal untungkan asing


Open registry kapal untungkan asing
Jadwal penerapan asas cabotage bisa terganggu

JAKARTA: Mappel menilai pemberlakukan sistem registrasi terbuka pendaftaran kapal atau open registry di dalam negeri berpotensi memperluas penguasaan pihak asing dalam kegiatan angkutan laut di perairan Indonesia.

Ketua Harian Masyarakat Pemerhati Pelayaran, Pelabuhan, dan Lingkungan Maritim (Mappel) Elly Radiani mengatakan open registry bagi Indonesia adalah sistem pendaftaran kapal berbendera Merah Putih yang sebagian sahamnya bisa dimiliki oleh badan usaha atau perseorangan asing sesuai dengan Perpres No. 77/2007.

Berdasarkan aturan tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal itu, kegiatan angkutan laut nasional dapat dilakukan oleh perusahaan joint venture antara badan usaha Indonesia dan asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49%.

?Namun, untuk menjamin kepemilikan nasional 51%, harus dicari suatu mekanisme pengawasan yang nyata dan efektif melalui aturan yang lebih tegas. Aturan pengawasan seperti inilah yang mesti dipersiapkan terlebih dahulu,? ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Dia mengatakan hal itu menanggapi rencana Departemen Perhubungan yang mengkaji perubahan sistem pendaftaran kapal dari sebelumnya close registry menjadi open registry yang mengacu pada Perpres No. 77/2007.

Peneliti Madya Badan Penelitian dan Pengembangan Dephub Johny Malisan mengatakan sistem registrasi terbuka bisa menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan jumlah armada kapal berbendera Merah Putih untuk angkutan barang ekspor impor.

Elly mengatakan kegiatan usaha pelayaran sesuai dengan Perpres No. 77/2007 sebaiknya hanya diterapkan pada perusahaan yang beroperasi untuk angkutan laut luar negeri, bukan untuk usaha angkutan laut dalam negeri.

Menurut dia, sistem open registry saat ini hanya dianut oleh beberapa negara yang potensi maritimnya tidak terlalu besar, seperti Panama, Liberia, Somalia, Mauritus, Barbados, dan Bahama, yang menjadikan sistem itu hanya sebagai alat untuk menambah pendapatan negara dari sektor angkutan laut.

?Keliru kalau open registry hanya untuk menggenjot jumlah armada berbendera Indonesia. Seharusnya badan usaha asing tidak dapat memiliki kapal berbendera Indonesia dan tidak dapat mendaftarkan kapalnya menjadi berbendera Merah Putih, khususnya untuk angkutan laut dalam negeri,? tutur Elly.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat Perhubungan Laut Dephub Leon Muhamad mengakui sistem pendaftaran terbuka tidak cocok diterapkan pada negara yang menganut asas cabotage, seperti Indonesia.

Ganggu tenggat

Menurut dia, penerapan sistem open registry akan mengganggu pemenuhan tenggat penerapan asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) secara penuh pada 1 Januari 2011.

?Untuk negara yang menerapkan asas cabotage, seperti Indonesia, sistem ini [open registry] tidak memungkinkan dipakai. Kalau diterapkan, kerja selama 5 tahun terakhir akan sia-sia,? katanya kepada Bisnis.

Namun, Leon mengakui Badan Penelitian dan Pengembangan Dephub sedang mengkaji penggunaan sistem registrasi terbuka untuk pendaftaran kapal di Indonesia. ?Itu memang kewenangan Balitbang untuk mengkajinya,? katanya.

Menurut dia, jika sistem open registry diterapkan, UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran harus diubah terlebih dahulu. ?Selain itu, semua upaya pemerintah untuk membangun kedaulatan di laut menjadi sia-sia.?

Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners? Association (INSA) Johnson W. Sucipto mengatakan konsep open registry melanggar UU Pelayaran yang mengatur asas cabotage karena pelayaran asing menjadi bebas menggunakan bendera Indonesia dan mengambil pangsa muatan angkutan laut dalam negeri 243 juta ton per tahun.

Oleh karena itu, ungkapnya, dengan penerapan pendaftaran terbuka, Indonesia berpotenasi kehilangan pendapatan sekitar US$78 juta dari pajak dan devisa atas ongkos angkut US$6,5 miliar per tahun.

Sesuai dengan roadmap asas cabotage, jumlah armada angkutan laut nasional akan ditingkatkan secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan pengangkutan komoditas di dalam negeri yang sebelumnya didominasi asing menjadi dikuasai kapal berbendera Merah Putih. (k1/ Tularji/ Aidikar M. Saidi) (redaksi@bisnis.co.id)

Bisnis Indonesia, 13 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=13-JUL-2009&inw_id=684368

July 10, 2009

Cabotage lepas pantai sesuai jadwal


Cabotage lepas pantai sesuai jadwal

JAKARTA: Departemen Perhubungan tetap memberlakukan asas cabotage secara penuh untuk angkutan lepas pantai (off-shore) pada 1 Januari 2011, kendati perusahaan pelayaran nasional masih kesulitan memperoleh kontrak jangka panjang.

Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut Dephub Bobby R. Mamahit mengatakan asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) untuk angkutan lepas pantai bisa diterapkan dalam 2 tahun mendatang karena lembaga keuangan sudah menyatakan komitmennya untuk mendukung implementasi kebijakan itu.

Selain itu, paparnya, pemilik kapal diharapkan lebih aktif untuk memperoleh kontrak jangka panjang dari pemilik komoditas sehingga pembiayaan yang disediakan bisa terserap secara optimal.

"Kami optimistis asas cabotage untuk off-shore akan berlangsung lancar pada 2011. Kalau pemilik kapal secara aktif ingin mendapat kontrak jangka panjang, Dephub juga pasti akan mendukung," katanya seusai kampanye Pekan Nasional Keselamatan Jalan di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), kemarin.

Pelaksanaan asas cabotage diatur dalam Pasal 8 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran yang menyebutkan kegiatan angkutan laut di dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewenegaraan Indonesia.

Pasal 284 UU itu juga memaparkan setiap orang yang masih mengoperasikan kapal asing untuk angkutan penumpang ataupun barang antarpulau di Indonesia akan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Berdasarkan roadmap (peta jalan) asas cabotage, kewajiban angkut komoditas di dalam negeri menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk minyak dan gas (migas) dan batu bara paling lambat pada 1 Januari 2010, sedangkan angkutan lepas pantai pada 1 Januari 2011.

Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Paulis A. Djohan sebelumnya mengatakan permasalahan utama dalam pengadaan armada berbendera Indonesia adalah sulitnya pengusaha pelayaran dalam memperoleh kontrak jangka panjang dari pemilik komoditas, sehingga tidak dapat menyerap pembiayaan secara optimal.

Namun, menurut Bobby, permasalahan-permasalahan dalam persiapan asas cabotage angkutan lepas pantai pada 2011 lebih banyak bersifat kasuistis.

Oleh Raydion Subiantoro
Bisnis Indonesia, 07 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=07-JUL-2009&inw_id=683149

Dephub didesak cari solusi polemik harga BBM feri


Dephub didesak cari solusi polemik harga BBM feri

JAKARTA: Operator angkutan penyeberangan mendesak Departemen Perhubungan segera mencarikan solusi yang tepat atas polemik antara operator kapal feri dan PT Pertamina mengenai selisih harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM).

Kelambanan Dephub dalam menyikapi polemik tersebut dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian berusaha dan meresahkan operator penyeberangan.

Demikian salah satu kesimpulan dari rapat pleno diperluas yang digelar Dewan Pengurus Pusat Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (DPP Gapasdap) kemarin.

Rapat dihadiri Ketua DPP Gapasdap Syarifuddin Mallarangan, Sekjen Luthfi Syarif, Ketua Bidang Angkutan Penyeberangan Sonni Matovani, Kepala Litbang Nugroho Basuki, Ketua DPC Merak Togar Napitupulu, dan sejumlah pengurus DPC Gapasdap Merak.

Syarifuddin mengatakan Dephub harus segera mencarikan solusi atas polemik tersebut guna memberikan kepastian bagi operator penyeberangan.

Rapat pleno itu memutuskan operator tetap menolak membayar kekurangan harga keekonomian atas pemakaian BBM yang ditagih oleh Pertamina beberapa waktu lalu.

Operator beralasan BBM angkutan penyeberangan, baik untuk kegiatan operasional port to port (antarpelabuhan), perawatan, maupun operasional kapal dari dan ke lokasi perawatan (docking), dihitung berdasarkan harga subsidi sesuai dengan KM Perhubungan No. 58/2003.

Sudah koordinasi

Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Perhubungan Bambang S. Ervan mengatakan departemennya sudah melakukan koordinasi dengan Pertamina dan Kantor Meneg BUMN terkait dengan persoalan itu.

Menurut dia, pihaknya sudah mendengar penjelasan dari Pertamina mengenai adanya tagihan kekurangan harga keekonomian atas pemakaian BBM oleh operator angkutan penyeberangan berdasarkan hasil audit BPK.

Dia menjelaskan departemennya tengah mencari jadwal yang tepat untuk mempertemukan pihak Pertamina, BPK dan operator angkutan penyeberangan sekaligus mengakhiri polemik itu.

Oleh Tularji
Bisnis Indonesia, 07 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=07-JUL-2009&inw_id=683148

Asing di pelayaran dibatasi 49%


Asing di pelayaran dibatasi 49%
Pelaku usaha masih berbeda pendapat

JAKARTA: Departemen Perhubungan memastikan investasi asing di sektor pelayaran dibatasi maksimal 49% dalam revisi Peraturan Presiden No. 111/2007 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang akan diterbitkan pada akhir bulan ini.

Menhub Jusman Syafii Djamal mengatakan pembatasan investasi asing di bidang pelayaran merupakan usulan dari Dephub dalam rapat koordinasi tentang DNI, belum lama ini.

"Investasi asing di pelayaran maksimal 49%, bukan 51%," katanya, kemarin.

Pembatasan investasi asing itu sejalan dengan Undang-Undang (UU) No.17/2008 tentang Pelayaran terutama Pasal 29 Ayat (2) dan Pasal 158 Ayat (2) poin c. Dalam Pasal 29 Ayat (2) disebutkan warga negara Indonesia (WNI) diizinkan bekerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing dalam bentuk usaha patungan dengan memiliki kapal berbendera Merah Putih minimal satu unit kapal berukuran 5.000 gross tonnage (GT) dan diawaki oleh WNI.

Selanjutnya, Pasal 158 Ayat (2) poin c menyebutkan kapal dapat didaftarkan di Indonesia jika kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan dengan mayoritas sahamnya dimiliki oleh WNI.

Staf ahli Menhub Bidang Ekonomi dan Kemitraan Iskandar Abubakar pernah menyebutkan Dephub kemungkinan menunda rencana membuka peluang bagi pemodal asal Asean menguasai saham di perusahaan pelayaran nasional hingga 51% mulai 2010.

Penundaan itu sesuai dengan UU No. 17/2008 yang menyebutkan perusahaan patungan harus dikuasai perusahaan nasional. "Dengan UU itu, sulit bagi pemodal Asean berpatungan dengan perusahaan pelayaran Indonesia dengan saham mayoritas," ujarnya.

Iskandar yang juga ketua tim kecil Dephub untuk Asean Framework Agreement on Services (AFAS) menegaskan pihaknya belum dapat memastikan kapan saham asing asal Asean dapat menguasai mayoritas saham di pelayaran.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Johnson W. Sutjipto menyatakan kebijakan Dephub mengatur investasi asing di bidang pelayaran dibatasi maksimal 49% telah sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Kebijakan investasi asing dalam draf revisi Perpres DNI telah sesuai dan sama dengan tahun lalu," katanya.

Dia menegaskan kebijakan Dephub menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadikan industri pelayaran sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Indonesian Shipping Association (ISA) sebelumnya juga menyatakan penolakan atas rencana pemerintah membuka peluang bagi investor asing menguasai saham di perusahaan pelayaran dan pelabuhan nasional hingga 51%.

Ketua Umum DPP ISA Jaka Aryadipa Singgih mengatakan kepemilikan mayoritas asing di perusahaan pelayaran akan menyebabkan eliminasi perusahaan pelayaran nasional yang beroperasi di dalam negeri.

Berbeda pendapat

Namun, mantan Ketua Umum Indonesian Shipbroker Association (ISBA) yang juga CEO PT Puradika Reinhard L. Tobing mengatakan semestinya pemerintah dan pelaku usaha pelayaran di dalam negeri tidak perlu khawatir dengan kepemilikan mayoritas asing di sektor pelayaran nasional.

"Kalau mereka [investor] menggunakan badan hukum Indonesia, idealnya kapal mereka pun berbendera Merah Putih. Negara akan menerima pajak-pajak atas penggunaan bendera kapal tersebut," paparnya beberapa waktu lalu.

Dia menyebutkan masuknya asing sebagai pemegang saham mayoritas dalam usaha pelayaran nasional hanya dikhawatirkan oleh perusahaan nasional yang tergolong besar dan selama ini telah menguasai pasar domestik.

"Masuknya asing setidaknya akan menjadi kompetitor di dalam negeri. Semestinya pelayaran nasional siap bersaing, bukan menghalangi. Ini juga untuk menghindari monopoli freight oleh sejumlah pelayaran yang telah menguasai pasar."

Hal senada diungkapkan Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute (Namarin). Menurut dia, kebijakan itu akan mendorong peningkatan modal perusahaan pelayaran lokal yang pada akhirnya menambah jumlah armada kapal nasional.

"Karena pelayaran lokal tidak kuat secara finansial, komposisi saham bisa melebihi 51% saham," kata Siswanto. (Junaidi Halik) (hendra.wibawa@bisnis.co.id)

Oleh Hendra Wibawa
Bisnis Indonesia, 07 juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=07-JUL-2009&inw_id=683147

Dispensasi kapal operasi hulu migas ditolak


Dispensasi kapal operasi hulu migas ditolak
BP Migas khawatir gangguan operasional

JAKARTA: Departemen Perhubungan menolak permohonan BP Migas yang meminta agar kapal khusus kegiatan seismik, pengeboran, dan konstruksi diberi kelonggaran dari kewajiban berbendera Indonesia.

Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Dephub Leon Muhammad mengatakan usulan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) itu ditolak karena penerapan asas cabotage (komoditas di dalam negeri wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) sudah dimulai pada 2005 dan kapal untuk tiga kegiatan itu sudah tersedia di Tanah Air.

“Dephub tetap berkomitmen untuk menerapkan asas cabotage secara penuh pada 1 Januari 2011 sehingga kapal asing yang mengangkut komoditas di dalam negeri wajib berbendera Indonesia. Ini sudah komitmen pemerintah dan tidak berubah sampai sekarang,” katanya kepada Bisnis kemarin.

Wakil Kepala BP Migas Abdul Muin mengakui pihaknya memang menyurati Departemen Perhubungan terkait dengan kewajiban kapal pengangkut komoditas domestik menggunakan bendera Indonesia.

Instansi pengelola sumber migas di Tanah Air itu juga meminta kelonggaran aturan pembatasan usia kapal. Menurut Muin, aturan itu tidak bisa diterapkan sekaligus pada tahun ini karena sempitnya waktu untuk mempersiapkan kapal pengganti.

“Kesepakatan kita secara nasional, kami mendukung dan menyepakati adanya aturan itu. Namun, kalau aturan itu diterapkan sekarang, waktu terlalu sempit untuk memesan kapal sehingga tidak mudah menggantinya dan bisa mengganggu operasi,” katanya.

Dia mengungkapkan dengan realitas sebagian besar dari 20 kapal jenis floating storage and of loading (FSO) dan floating, production, storage and of loading(FPSO)masih berbendera asing dan berusia di atas 20 tahun, BP Migas meminta penundaan pemberlakuan aturan itu setidaknya hingga awal 2011 atau masa kontrak berakhir.

“Hal itu juga merujuk pada KM 71/2005 yang membolehkan kapal berbendera asing beroperasi di kegiatan migas hingga Januari 2011,” tutur Muin.

Dia menambahkan instansinya juga meminta kelonggaran yang sama untuk untuk kapal penunjang, seperti anchor handling and supply vessel (AHTS), kapal tunda, tongkang, dan kapal penunjang lainnya.

Sudah banyak

Namun, Leon menegaskan alasan BP Migas bahwa tidak tersedianya kapal untuk kegiatan seismik, pengeboran, dan konstruksi, tidak benar. “Siapa bilang tidak ada, sudah banyak pengusaha yang memiliki kapal untuk kegiatan seismik, drilling, dan konstruksi,” ungkapnya.

Dia menambahkan BP Migas seharusnya lebih proaktif dengan berkomitmen mendorong terpenuhinya roadmap asas cabotage, guna mendorong pelayaran mendapatkan kontrak jangka panjang.

“Penerapan asas cabotage sudah tidak bisa dimundurkan lagi. Kami tetap konsekuen dengan tenggat roadmap tersebut dan BP Migas kami harapkan menyesuaikan diri,” tutur Leon.

Berdasarkan peta jalan (roadmap) asas cabotage, kewajiban angkut komoditas di dalam negeri menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk minyak dan gas (migas) dan batu bara paling lambat pada 1 Januari 2010, sedangkan angkutan lepas pantai pada 1 Januari 2011.

Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut Dephub Bobby R. Mamahit mengatakan departemennya optimistis dapat menerapkan asas cabotage secara penuh pada 1 Januari 2011 kendati perusahaan pelayaran masih kesulitan memperoleh kontrak jangka panjang.

Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Paulis A. Djohan mengimbau pemangku kepentingan di luar organisasi itu agar berupaya lebih baik dalam memenuhi tenggat penerapan asas cabotage. (tularji@bisnis.co.id/ rudi.ariffianto@bisnis.co.id)

Oleh Tularji & Rudi Ariffianto
Bisnis Indonesia, 10 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=10-JUL-2009&inw_id=683966

Sistem registrasi terbuka untuk kapal dikaji


Sistem registrasi terbuka untuk kapal dikaji

JAKARTA: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan mengkaji penggunaan sistem registrasi terbuka atau flag of convenience (FOC) untuk pendaftaran kapal di Indonesia.

Peneliti Madya Badan Penelitian dan Pengembangan Dephub Johny Malisan mengatakan sistem registrasi terbuka bisa menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan jumlah armada kapal berbendera Merah Putih untuk angkutan barang ekspor impor.

“Selama ini angkutan ke luar negeri selalu didominasi oleh kapal asing, sehingga muncul gagasan registrasi terbuka atau open registry [flag of convenience],” katanya seusai acara diskusi bertema Kebijakan Sistem Registrasi Kapal Pada Masa Yang Akan Datang, kemarin.

Registrasi dengan sistem FOC memungkinkan kapal mengibarkan bendera suatu negara yang berbeda dari pemilik kapal tersebut. FOC juga bisa didefinisikan sebagai kebijakan dari satu negara untuk memberi kesempatan kepada pemilik kapal dari seluruh dunia, tidak terbatas hanya kepada warga negara bersangkutan untuk menggunakan bendera negaranya.

Johny memaparkan jika ingin menerapkan sistem registrasi terbuka, Indonesia harus memberikan sejumlah kemudahan, seperti keringanan pajak, kepastian hukum dan lainnya.

“Salah satu cara agar angkutan ekspor impor tidak didominasi asing dengan mendorong perusahaan lokal untuk menambah armada atau kita menarik kapal asing mengubah bendera,” ujarnya.

Dia menegaskan sistem registrasi terbuka tidak akan mengganggu penerapan asas cabotage yang mewajibkan komoditas domestik diangkut oleh kapal berbendera Indonesia.

“Akan ada aturan yang memisahkan. Kapal yang teregistrasi secara terbuka tidak diperbolehkan mengangkut komoditas domestik ke antarpulau atau mengganggu asas cabotage. Memang masih ada citra negatif mengenai open registry, karena itu diperlukan pengawasan yang ketat,” tutur Johny.

Namun, beberapa waktu lalu, pelaut Indonesia dan Rusia justru menandatangani kerja sama untuk memerangi kapal-kapal yang beroperasi dengan menggunakan FOC yang masuk di perairan dan pelabuhan kedua negara tersebut.

Penandatanganan kerja sama itu dilakukan oleh Ketua Umum DPP Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi dan Presiden Kesatuan Pelaut Rusia (Seaferers Union of Rusia) Nikolay Sukhanov, serta disaksikan oleh Ketua Serikat Pekerja Transportasi Rusia Vadim G. Ivanov.

Nikolay mengungkapkan organisasi pelaut Rusia telah menemukan lebih dari 2.000 pelaut asal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera kemudahan milik pengusaha kapal Rusia yang diberi upah sangat rendah atau di bawah standar upah internasional, yang rata-rata US$1.350 per bulan.

Organisasi itu, paparnya, juga akan mendesak pengusaha kapal Rusia yang masih mengoperasikan kapal FOC untuk segera mengalihkan kapalnya menjadi bendera negara tersebut. (Junaidi Halik)

Oleh Raydion Subiantoro
Bisnis Indonesia, 10 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=10-JUL-2009&inw_id=683967


Pelni bangun fasilitas perawatan kapal


Pelni bangun fasilitas perawatan kapal

JAKARTA: PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) akan membangun fasilitas pemeliharaan dan perawatan kapal di enam lokasi di Indonesia untuk menekan biaya perawatan kapal.

Direktur Armada Pelni M. Luthfi mengatakan fasilitas yang dinamakan Pelni Maintenance Facility (PMF) itu akan dibangun di Jakarta, Surabaya, Tanjung Pinang, Manado, Makassar, dan Ambon.

“Fasilitas ini akan dikelola oleh divisi sendiri atau SBU [strategic business unit] di bawah kendali direksi. Fasilitas yang mirip Garuda Maintenance Facility milik PT Garuda Indonesia ini akan dikembangkan di enam daerah," katanya kepada Bisnis, kemarin. Dia menjelaskan PMF ditargetkan mampu mengefisienkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) pada saat kapal melakukan perawatan rutin.

“Kapal milik Pelni tidak perlu lagi ditarik ke tempat perawatan yang jaraknya cukup jauh sehingga memerlukan BBM dalam jumlah besar. Ini bisa menghemat biaya perawatan kapal," katanya.

Kepala Humas Pelni Edi Heryadi menambahkan pembangunan PMF di enam lokasi tersebut agar kapal-kapal milik perseroan memenuhi standar yang diterapkan IMO (International Maritime Organization).

Dia menjelaskan rencana pembangunan PMF sudah dimatangkan dengan melakukan kajian teknis. "Intinya kami ingin perbaikan semua kapal Pelni dapat dilakukan dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan cepat," katanya.

Menurut dia, pembangunan pusat perawatan kapal ini termasuk unit bisnis strategis yang diharapkan mampu menggenjot pendapatan perseroan secara signifikan.

Menjanjikan

Luthfi menjelaskan fasilitas itu memiliki prospek usaha yang menjanjikan karena permintaan reparasi kapal dan pembangunan kapal baru di dalam negeri terus meningkat.

Pelni telah memiliki unit bisnis galangan Surya Surabaya yang hanya melayani perawatan kapal tipe 500 milik perseroan dan perusahaan pelayaran lainnya.

Menurut dia, manajemen berkomitmen mengembangkan fasilitas perawatan kapal itu dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan sekaligus menekan kerugian perseroan.

Tahun ini, Pelni menargetkan dapat menurunkan kerugian hingga Rp40,38 miliar menjadi Rp14,99 miliar dibandingkan dengan kerugian pada 2008 sebesar Rp55,37 miliar.

Pada 2006, perseroan pelat merah ini merugi Rp159,88 miliar, tetapi setahun kemudian mampu ditekan menjadi Rp90,25 miliar, dan pada 2008 kerugian BUMN ini tercatat Rp55,37 miliar.

Selain mengembangkan fasilitas perawatan kapal, kerugian ditekan dengan menggarap layanan angkutan kontainer melalui modifikasi kapal sehingga multifungsi, baik angkutan penumpang, kendaraan, maupun peti kemas.

Manajemen BUMN itu menargetkan modifikasi dua kapal selesai pada semester II/ 2009 sehingga layanan angkutan peti kemas dapat dimulai pada tahun ini mengingat prospek angkutan barang cukup menjanjikan.

Konsep pengembangan armada menjadi angkutan kontainer dalam rangka mendukung visi Pelni yang mengarahkan setiap kapal yang dioperasikan bisa menutupi kebutuhan biaya operasional, bahkan mencetak keuntungan.

Oleh Tularji
Bisnis Indonesia, 10 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=10-JUL-2009&inw_id=683962

July 6, 2009

Harga bahan bakar kapal naik 8%


Harga bahan bakar kapal naik 8%

JAKARTA: Biaya pelayanan bahan bakar kapal atau bunker di dalam negeri naik lagi rata-rata sebesar 8% sejak 1 Juli 2009, menyusul pergerakan harga minyak dunia yang kini mendekati US$ 70 per barel.

Kenaikan harga bunker itu berlaku untuk kapal rute domestik ataupun yang melayani angkutan rute internasional. Namun, pelaku usaha pelayaran nasional menilai kenaikan harga bunker kapal di dalam negeri saat ini tidak tepat mengingat belum pulihnya ekonomi nasional dan perdagangan global.

Pjs Manajer Pemasaran BBM, Industri & Marine Region II Pertamina Sutiyono dalam surat edaranya No. F12600/2009-S3 yang ditujukan kepada pelanggan pelayaran menyebutkan biaya bunker untuk jenis minyak solar atau high speed diesel (HSD) bagi kapal rute domestik yang sebelumnya Rp5,25 juta per kiloliter (kl) naik menjadi Rp5,7 juta/kl.

Untuk jenis minyak diesel atau marine fuel diesel (MFD) yang sebelumnya Rp5,15 juta/kl menjadi Rp5,57 juta/kl, sedangkan jenis minyak bakar atau marine fuel oil (MFO) yang sebelumnya Rp4,5 juta/kl menjadi Rp4,75 juta/kl.

Kenaikan harga juga diberlakukan untuk kapal rute internasional yang melakukan bunker di dalam negeri. Bunker jenis HSD bagi kapal asing yang sebelumnya US$512,9/kl menjadi US$557,2/kl. Untuk jenis MFD yang sebelumnya US$503/kl menjadi US$545/kl, sedangkan bunker jenis MFO dari US$439,6/kl menjadi US$464,4/kl.

Wakil Ketua Bidang Organisasi DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Paulis A. Johan mengatakan saat ini bukan saat yang tepat untuk menaikkan biaya bunker kapal karena volume muatan dan tarif angkut sedang menurun akibat dampak krisis ekonomi global.

”Kami melihatnya bukan saat yang tepat [kenaikan bunker]. Volume muatan peti kemas domestik saja turun lebih dari 35% saat ini dan tarif angkut masih anjlok karena perang tarif antaroperator pelayaran masih terjadi,” ungkapnya.

Menurut Paulis, semestinya pemerintah mendorong usaha pelayaran nasional dengan memberikan stimulus di antaranya tidak menaikkan beban biaya bunker kapal berbendera Indonesia di dalam negeri, sehingga biaya operasional kapal ada kepastian.

Dia mengungkapkan biaya bunker selama ini merupakan salah satu komponen terbesar operasional kapal, yakni 30%-40%.

Selain itu, paparnya, INSA juga tetap mendesak pemerintah menghapuskan beban pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang selama ini diberlakukan bagi kapal yang melakukan bunker di dalam negeri. ”Saat ini pelayaran nasional sedang berdarah-darah, kami berharap jangan lagi ditambahkan beban,” tutur Paulis. (k1)

Bisnis Indonesia, 06 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=06-JUL-2009&inw_id=683022

Asas cabotage lepas pantai terancam gagal


Asas cabotage lepas pantai terancam gagal
Pelayaran nasional terkendala kontrak

JAKARTA: Penerapan asas cabotage secara penuh untuk angkutan lepas pantai (offshore) pada 1 Januari 2011 terancam gagal karena pengusaha pelayaran nasional masih sulit memperoleh kontrak jangka panjang.

Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners? Association (INSA) Paulis A. Djohan mengatakan pengusaha pelayaran baru bisa memastikan mampu memenuhi tenggat penerapan asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) untuk angkutan minyak dan gas (migas) serta batu bara.

?Namun, kegagalan untuk memenuhi asas cabotage angkutan offshore sesuai dengan tenggat 1 Januari 2011 sudah di depan mata, apalagi kebutuhan investasi pengadaan kapal tipe ini sangat besar,? katanya kepada Bisnis pekan lalu.

Sesuai dengan roadmap asas cabotage, kewajiban angkut komoditas di dalam negeri menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk migas dan batu bara diterapkan paling lambat 1 Januari 2010, sedangkan angkutan lepas pantai mulai 1 Januari 2011.

Indonesia merupakan negara ke-18 dan satu-satunya di kawasan Asia Tenggara yang menerapkan asas cabotage, sedangkan Amerika Serikat sebagai negara pertama menerapkan aturan itu.

Hingga Mei 2009, masih ada 127 kapal pengangkut migas berbendera asing yang harus beralih menggunakan bendera Indonesia sebelum 1 Januari 2011, padahal perusahaan galangan kapal di dalam negeri sudah kelebihan pesanan.

Paulis mengungkapkan total kebutuhan investasi pengadaan armada untuk menggantikan kapal offshore asing bisa mencapai US$3 miliar-US$4 miliar.

?Kendalanya bukan pada biaya, melainkan kontrak jangka panjang yang tidak didapatkan oleh perusahaan pelayaran nasional,? ujarnya.

Dia mengungkapkan kebutuhan investasi pengadaan kapal lepas pantai sebenarnya bisa dipenuhi oleh lembaga pembiayaan dan perbankan karena mereka sudah berkomitmen untuk menyediakan dana itu.

Namun, menurut Paulis, kontrak jangka panjang yang diminta oleh perbankan masih sulit diperoleh oleh pelayaran nasional dari para pemilik komoditas sehingga pembiayaan yang disediakan itu tidak terserap secara optimal.

Paulis menegaskan kendati penerapan asas cabotage untuk angkutan lepas pantai berpotensi gagal, pelaku usaha pelayaran tetap bekerja secara optimal untuk memenuhi tenggat yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Harga tinggi

Ketua Umum DPP Indonesian Offshore Shipping Association (IOSA) Budi H.M. Siregar pernah mengungkapkan untuk memenuhi asas cabotage angkutan offshore pada 2011, masih dibutuhkan investasi sedikitnya US$1 miliar.

Dana itu disiapkan untuk pengadaan 80 unit kapal lepas pantai jenis floating storage and of loading(FSO), floating, production, storage and of loading(FPSO), utility vessel, dan anchor handling tug & supply (AHTS).

Budi mengatakan harga kapal offshore yang masih tinggi di pasar internasional menyebabkan perusahaan pelayaran nasional yang bergerak pada kegiatan pendukung lepas pantai sulit menambah armada.

Menurut dia, harga kapal bekas jenis angkutan kontainer dan curah saat ini masih rendah. Namun, harga kapal lepas pantai belum turun sehingga dukungan pemerintah dan lembaga keuangan dalam negeri sangat dibutuhkan untuk mendukung pengadaan armada angkutan offshore. (tularji@bisnis.co.id)

Oleh Tularji
Bisnis Indonesia, 06 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=06-JUL-2009&inw_id=683021

July 2, 2009

Harga minyak diwaspadai


TRANSIT
Harga minyak diwaspadai

JAKARTA: Perusahaan angkutan penyeberangan mewaspadai pergerakan harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh US$70 per barel sebelum turun ke level US$68 per barel pada pekan lalu.

Ketua Bidang Angkutan Penyeberangan Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Soni Matufani mengatakan pergerakan harga minyak mentah dunia patut diwaspadai karena berpengaruh terhadap pasar.

“Namun, dampak kenaikan [harga] itu bisa direm jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM di dalam negeri. Kami mewaspadai kenaikan itu, tetapi berharap BBM domestik tidak naik,” katanya baru-baru ini. (Bisnis/aji)

Bisnis Indonesia, 02 juli 2009
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=02-JUL-2009&inw_id=682534

Bunker nonsubsidi lebih diminati


Bunker nonsubsidi lebih diminati
Penyaluran bunker bersubsidi diperketat

JAKARTA: Perusahaan pelayaran lebih memilih menggunakan bahan bakar kapal atau bunker dengan harga pasar sehingga penyaluran bunker bersubsidi belum optimal.

Manuel Moniaga, Direktur PT Pagar Dewa Karya Utama-perusahaan penyedia layanan bunker-mengatakan operator kapal memilih menggunakan bunker nonsubsidi karena pelayanannya lebih cepat.

Dia mengungkapkan kepercayaan operator kapal asing untuk melakukan bunker di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia juga sudah mulai meningkat.

“Untuk di Pelabuhan Tanjung Priok saja rata-rata 5.000 ton per bulan untuk bunker kapal asing. Jumlah yang hampir sama juga terjadi di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya,” katanya di sela-sela rapat umum anggota Asosiasi Pelayanan Bunker Indonesia (APBI) di Jakarta, kemarin.

Rapat umum anggota (RUA) ke-1 itu diikuti oleh sejumlah perusahaan penyedia layanan bunker dari Jakarta dan Surabaya dengan mengambil tema Konsolidasi Menuju Pelayanan Bunker Setara Internasional.

Sementara itu, pelaku usaha pelayaran nasional dan instansi terkait sektor angkutan laut diminta berperan aktif mengawasi penyaluran bahan bakar kapal bersubsidi untuk kapal penumpang, penyeberangan, dan angkutan kargo umum bermuatan bahan kebutuhan pokok.

Manajer Industri & Marine PT Pertamina Gandhi Sriwidodo mengatakan bahan bakar kapal bersubsidi hingga saat ini masih tetap diberikan kepada operator kapal penumpang yang menerima dana public service obligation (PSO) dan kapal pengangkut barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

Di sisi lain, paparnya, Pertamina akan tetap menjamin keberlangsungan penyaluran bahan bakar bersubsidi tersebut agar kegiatan angkutan laut bisa terus berjalan.

“Namun, yang terpenting pengawasan harus tetap ditingkatkan terhadap penyaluran bahan bakar bersubsidi itu. Jangan sampai jatuh ke pihak yang kurang tepat untuk menghindari penyalahgunaan atau kegiatan bunker ilegal,” katanya.

Dia menegaskan meskipun dikenakan harga subsidi, aktivitas pelayanan bunker terhadap kapal penumpang ataupun angkutan kargo umum tidak boleh terlambat.

“Diperlukan kecepatan pelayanan bunker untuk kedua kapal itu karena ketika angkutan itu terlambat, dampaknya akan meresahkan masyarakat,” tutur Gandhi.

Koordinasi

Oleh karena itu, paparnya, perusahaan pelayaran nasional dan anggota APBI diharapkan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum di laut, di antaranya Administrator Pelabuhan, Polri, dan TNI Angkatan Laut untuk mengawasi penyaluran bahan bakar kapal bersubsidi.

“Jika menemukan kegiatan penyaluran bahan bakar kapal di bawah harga yang sudah ditetapkan pertamina agar dilaporkan. Harmonisasi koordinasi antarinstansi dan pelaku bisnis terkait inilah yang mesti terus dilakukan,” tegasnya.

Ketua Umum APBI Jojok Moedijo mengatakan pengawasan atas bahan bakar kapal bersubsidi masih perlu ditingkatkan dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh aparat terkait di pelabuhan.

Dia mengungkapkan pengawasan terhadap penyaluran bahan bakar bersubsidi sudah diatur dalam UU No.22/2000 dan pihak kepolisian ataupun aparat di laut bisa melakukan tindakan jika menemukan pelanggaran. (k1/Junaidi Halik) (redaksi@bisnis. co.id)

Bisnis Indonesia, 02 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=02-JUL-2009&inw_id=682531

Volume angkutan laut anjlok 35,4%


Volume angkutan laut anjlok 35,4%
Arus penumpang pesawat cenderung meningkat

JAKARTA: Volume angkutan barang antarpulau melalui laut dalam 5 bulan pertama tahun ini anjlok 35,41% menjadi 45,5 juta ton dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 70,45 juta ton.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan volume angkutan barang melalui laut selama Januari-Mei tahun ini terjadi di tiga pelabuhan utama, yakni Tanjung Priok Jakarta –1%, Tanjung Perak Surabaya 4,1%, dan Balikpapan -43,3%.

Dua pelabuhan utama lainnya, yakni Pelabuhan Panjang Lampung dan Makassar mencatat peningkatan, masing-masing 30,3% dan 91,1%. Sementara itu, pelabuhan lainnya di Indonesia mencatat penurunan 42,8% selama 5 bulan pertama tahun ini.

Meski demikian, secara bulanan (month-to-month), volume angkutan laut pada Mei hanya turun 1,99% menjadi 8,34 juta ton dibandingkan dengan bulan sebelumnya 8,51 juta ton.

Pada Mei, menurut laporan itu, volume angkutan barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok melonjak 36,5% dan Tanjung Perak naik 8,9%. Pelabuhan utama lainnya mencatat penurunan cukup signifikan, yakni Panjang –36,79%, Makassar –10,96%, dan Balikpapan 9,35%.

BPS juga mengungkapkan jumlah penumpang angkutan laut pada Januari-Mei tahun ini turun 3,97% menjadi 2,25 juta orang, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 2,34 juta orang.

Ketua Bidang Organisasi DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Paulis Djohan terkejut dengan penurunan volume angkutan laut yang signifikan itu.

Menurut dia, anjloknya volume kiriman lewat laut tidak terlepas dari kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil akibat krisis keuangan global.

“Penurunan 35% itu besar sekali, tetapi saya rasa daya beli masyarakat Indonesia memang melemah, sehingga jumlah produksi barang pun berkurang, dan berakibat pada anjloknya volume kiriman lewat laut,” katanya kemarin.

Dia menolak anggapan penurunan volume angkutan laut disebabkan oleh moda tersebut kalah bersaing dengan moda angkutan lain, terutama pesawat yang makin serius menggeluti bisnis pengiriman akhir-akhir ini.

Berbanding terbalik

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Ali Rosidhi menuturkan penurunan jumlah penumpang di angkutan laut berbanding terbalik dengan kondisi di penerbangan.

“Jumlah penumpang domestik dan internasional meningkat pada Januari-Mei tahun ini. Penumpang domestik naik tipis 0,55% menjadi 13,46 juta orang, sementara penumpang internasional meningkat 3,85% menjadi 2,86 juta orang,” paparnya.

Jumlah penumpang pesawat pada Mei bahkan melonjak 12% menjadi 2,9 juta orang dari bulan sebelumnya 2,5 juta orang. Peningkatan arus penumpang terjadi hampir di semua bandar udara utama di Indonesia, yakni Soekarno-Hatta Jakarta 13,66%, Ngurah Rai Bali 22,29%, Juanda Surabaya 8,37%, Polonia Medan 6,34%, dan Hasanuddin Makassar 11,35%. Adapun arus penumpang di bandara lainnya tumbuh 11,36% pada bulan lalu.

Sekjen Indonesian National Air Carrier Association (INACA) Tengku Burhanuddin mengatakan peningkatan arus penumpang itu dipicu oleh bergairahnya penerbangan rute domestik.

“Wisatawan dalam negeri yang biasanya berlibur ke luar negeri, sekarang lebih memilih wisata di dalam negeri karena nilai tukar yang melemah terhadap dolar AS. Jadi krisis ini ada berkahnya juga untuk penerbangan domestik,” ujarnya.

Data BPS menunjukkan arus penumpang pesawat rute internasional pada Mei tetap tumbuh 6,66% menjadi 629.200 orang dibandingkan dengan April 589.900 orang. Secara kumulatif 5 bulan pertama tahun ini, arus penumpang internasional juga naik 3,85% menjadi 2,86 juta orang dibandingkan dengan periode yang sama 2008 sebanyak 2,75 juta orang. (Hery Lazuardi) (raydion@bisnis.co.id)

Oleh Raydion Subiantoro
Bisnis Indonesia, 02 Juli 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=02-JUL-2009&inw_id=682526