April 30, 2009

Perbankan Diimbau Tingkatkan Kredit untuk Industri Pelayaran


Perbankan Diimbau Tingkatkan Kredit untuk Industri
Pelayaran

Metrotvnews.com, Jakarta: Bank Indonesia mengimbau perbankan nasional untuk meningkatkan kredit pada sektor pelayaran. Hal ini disampaikan Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad di Jakarta, baru-baru ini. Muliaman mengatakan, total pembiayaan untuk pelayaran masih di bawah dua persen dari seluruh total pembiayaan perbankan nasional.

Menurut Muliaman, jika dibandingkan dengan Februari 2008, pembiayaan di industri pelayaran telah naik Rp 9 triliun. Namun, jika dibandingkan total biaya yang dibutuhkan, masih jauh dari kebutuhan. Apalagi dibanding dengan kebutuhan industri pelayaran nasional yang masih membutuhkan sekitar 600 armada kapal pada tahun 2010 untuk memenuhi azas cabotage.

Muliaman menambahkan, potensi pembiayaan masih sangat besar, terlebih NPL kredit industri pelayaran saat ini masih di bawah dua persen. Karena itu, dibutuhkan forum antara industri pelayaran dan perbankan lebih intensif, agar terjadi transparansi mengenai prospek dan risiko kredit untuk industri pelayaran.(DSY)

MetroTVNews, Market Review / Ekonomi / Kamis, 16 April 2009 9:42 WIB

http://202.158.49.22/main.php?metro=berita&id=80770

Kurang Perhatian, Pelayaran Nasional Merugi


Kurang Perhatian, Pelayaran Nasional Merugi


Jakarta, RMonline. Potensi pendapatan dari sektor pelayaran nasional masih belum optimal untuk dinikmati. Padahal dari sektor ini bisa diperoleh pendapatan bagi negara sebesar Rp 147 triliun setiap tahun.

Sayangnya, pendapatan tersebut sebagian besar masih dinikmati perusahaan pelayaran milik asing dengan menguasai pengangkutan minyak bumi, gas, batubara dan offshore.

Indonesia sebagai negara maritim sebenarnya telah memberlakukan asas cabotage atau hak istimewa bagi suatu negara yang memiliki wilayah perairan untuk melakukan pengangkutan barang keperluan dalam negeri dengan kapal-kapal berbendera nasional.

"Dengan berlakunya azas cabotage seharusnya industri pelayaran nasional bisa berkembang pesat dan bisa menjadi salah satu sektor andalan bagi sumber pendapatan nasional, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas laut mencapai 70 persen," ujar Wakil Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) FTUI Agus Muldya dalam diskusi terbatas pra seminar Indonesian Cabotage Forum 2009 di Sekretariat Iluni FTUI Salemba Jakarta, Jum'at (27/3).

Agus menambahkan, negara-negara maritim di dunia seperti Jepang, Jerman, Prancis menerapkan asas cabotage. Bahkan, lanjut Agus, Amerika Serikat yang menjadi pelopor liberalisme dan perdagangan bebas pun menerapkan prinsip ini.

Sementara itu, Ketua Bidang Pengkajian Maritim Iluni FTUI Idris Sikumbang menjelaskan industri pelayaran di luar negeri seperti di AS mendapat dukungan penuh dari perbankan nasionalnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi di Indonesia.

"Akan sulit bagi pengusaha nasional untuk membeli kapal pengangkut oil dan gas jika tidak mendapat kucuran kredit dari perbankan nasional. Kalau ini dibiarkan, maka kapal-kapal asing lah yang terus mengeruk keuntungan, meski ada asas cabotage," ujar Idris.

Sementara itu di tempat yang sama Ketua Panitia Indonesian Cabotage Advocation Forum Ully R Putra menyatakan, untuk mengimplementasikan pemberdayaan pelayaran nasional diperlukan konsolidasi yang lebih serius dari semua kementerian terkait.

"Perlu koordinasi antara Menko Perekonomian, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia untuk mendorong jalannya pendanaan untuk sektor maritim," ungkap Ully.

Rencananya, Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani, Meneg BUMN Sofyan Djalil dan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal akan membahas masalah ini dalam Indonesian Cabotage Advocation Forum di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (31/3) mendatang. [ald]

Laporan: Zul Sikumbang

rakyat merdeka, Jumat, 27 Maret 2009, 17:50:02 WIB

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=73017

Kurang Perhatian, Pelayaran Nasional Merugi

Kurang Perhatian, Pelayaran Nasional Merugi

Jakarta, RMonline. Potensi pendapatan dari sektor pelayaran nasional masih belum optimal untuk dinikmati. Padahal dari sektor ini bisa diperoleh pendapatan bagi negara sebesar Rp 147 triliun setiap tahun.

Sayangnya, pendapatan tersebut sebagian besar masih dinikmati perusahaan pelayaran milik asing dengan menguasai pengangkutan minyak bumi, gas, batubara dan offshore.

Indonesia sebagai negara maritim sebenarnya telah memberlakukan asas cabotage atau hak istimewa bagi suatu negara yang memiliki wilayah perairan untuk melakukan pengangkutan barang keperluan dalam negeri dengan kapal-kapal berbendera nasional.

"Dengan berlakunya azas cabotage seharusnya industri pelayaran nasional bisa berkembang pesat dan bisa menjadi salah satu sektor andalan bagi sumber pendapatan nasional, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas laut mencapai 70 persen," ujar Wakil Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) FTUI Agus Muldya dalam diskusi terbatas pra seminar Indonesian Cabotage Forum 2009 di Sekretariat Iluni FTUI Salemba Jakarta, Jum'at (27/3).

Agus menambahkan, negara-negara maritim di dunia seperti Jepang, Jerman, Prancis menerapkan asas cabotage. Bahkan, lanjut Agus, Amerika Serikat yang menjadi pelopor liberalisme dan perdagangan bebas pun menerapkan prinsip ini.

Sementara itu, Ketua Bidang Pengkajian Maritim Iluni FTUI Idris Sikumbang menjelaskan industri pelayaran di luar negeri seperti di AS mendapat dukungan penuh dari perbankan nasionalnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi di Indonesia.

"Akan sulit bagi pengusaha nasional untuk membeli kapal pengangkut oil dan gas jika tidak mendapat kucuran kredit dari perbankan nasional. Kalau ini dibiarkan, maka kapal-kapal asing lah yang terus mengeruk keuntungan, meski ada asas cabotage," ujar Idris.

Sementara itu di tempat yang sama Ketua Panitia Indonesian Cabotage Advocation Forum Ully R Putra menyatakan, untuk mengimplementasikan pemberdayaan pelayaran nasional diperlukan konsolidasi yang lebih serius dari semua kementerian terkait.

"Perlu koordinasi antara Menko Perekonomian, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia untuk mendorong jalannya pendanaan untuk sektor maritim," ungkap Ully.

Rencananya, Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani, Meneg BUMN Sofyan Djalil dan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal akan membahas masalah ini dalam Indonesian Cabotage Advocation Forum di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (31/3) mendatang. [ald]

Laporan: Zul Sikumbang

rakyat merdeka, Jumat, 27 Maret 2009, 17:50:02 WIB

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=73017

Pelayaran Masih Miskin Kucuran Kredit

JAKARTA. Penyerapan kredit untuk sektor perkapalan dan pelayaran masih sangat kecil dibandingkan dengan sektor lain. Hal ini karena tidak ada transparansi dan komunikasi antara pelaku usaha dengan perbankan. Akibatnya, bank belum terlalu terbuka untuk mengucurkan kreditnya ke dalam sektor usaha yang satu ini.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D. Hadad mengatakan,saat ini, porsi kredit untuk sektor perkapalan dan pelayaran hanya sebesar 2% dari total pinjaman industri perbankan yang hingga akhir Februari 2009 mencapai angka Rp1.334 triliun. "Sektor pelayaran hanya mendapatkan kucuran kredit sebesar Rp 19,7 triliun," tuturnya dalam Workshop Peluang Pembiayaan Industri Pelayaran Nasional di Jakarta, Rabu (15/4). Tetapi sebenarnya angka tersebut cukup besar karena jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, telah terjadi kenaikan kucuran kredit sebesar 80%.

Menurut Muliaman, masih kecilnya porsi kredit perkapalan atau pelayaran nasional ini justru tak mencerminkan potensi bisnis dari bidang usaha sektor tersebut. Karena sebenarnya potensi maritim cukup besar. "Oleh sebab itu perlu ada komunikasi antar perbankan dan pelaku industri agar sektor pelayaran bisa berkembang dengan adanya peningkatan pembiayaan," ujarnya.

Dengan adanya azas cabotage, sebenarnya industri pelayaran mempunyai ruang dan potensi cukup besar untuk dibiayai. Dia menjelaskan, sektor industri harus memaparkan transparansi mengenai jenis usahanya, termasuk risiko yang akan muncul dari sektor tersebut. "Kalau bisa diidentifikasi akan lebih memudahkan lembaga keuangan untuk memitigasi risiko," ujarnya.

Demikian juga dengan, bank dan perusahaan pembiayaan. Mereka harus menjunjung dua hal penting. Pertama, kemampuan untuk membayar kredit yang diberikan. Untuk itu banyak faktor yang dilihat yaitu prospek usaha atau entrepreneurship, selain keinginan nasabah untuk membayar.

Direktur Korporasi PT Bank Mandiri Tbk Riswinandi menambahi, untuk di Bank Mandiri sendiri, sampai saat ini sudah ada kurang lebih 50 nasabah di sektor tersebut. "Nilai kreditnya hampir Rp 3 triliun," tuturnya. Masih kecilnya kredit ke sektor tersebut karena di industri perbankan sendiri saat ini banyak regulasi yang mengutamakan prinsip kehati-hatian. Oleh sebab itu bank harus paham secara menyeluruh bisnis tersebut.
(Arthur Gideon)

Kontan Online, 15 April 2009

http://www.kontan.co.id/index.php/Keuangan/news/11785/Pelayaran_Masih_Miskin_Kucuran_Kredit

April 28, 2009

Dicky BIP, Telah Wafat


BERITA DUKA,


Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un,


Pada tanggal 27 April 2009, hari Senin, jam 16.20 WIB, Dicky Bambang Ismayana P. telah meninggal dunia karena sakit di Cimanggis, Depok dan dimakamkan pada tanggal 28 April 2009 di Subang, Jawa Barat.


Beliau telah bekerja di PT Bahtera Adhiguna selama 6 (enam) tahun di bagian staff Divisi Pemasaran dan Keagenan.


Almarhum meninggalkan seorang isteri dan seorang puteri.



Direvisi MARPOL Lampiran VI, Nox Tek. Kode


Direvisi MARPOL Lampiran VI, Nox Tek. Kode

Baru publikasi sekarang tersedia dari IMO Publikasi direvisi pada peraturan internasional tentang pencegahan dan mengurangi emisi dari kapal berbahaya, seperti oxides belerang (Sox), nitrogen oxides (Nox) dan particulate matter.

Yang direvisi MARPOL Lampiran VI (Peraturan untuk Pencegahan Pencemaran Udara dari dari Kapal) dan direvisi Nox Teknis Kode 2008 yang diadopsi oleh IMO Kelautan dari Komite Perlindungan Lingkungan pada Oktober 2008, dengan catatan berlaku tanggal 1 Juli 2010.

Revisi yang MARPOL Lampiran VI & Nox Teknis Kode 2008 (2009 Edition) adalah penting untuk publikasi maritim administrasi, klasifikasi masyarakat, perusahaan pelayaran (pemilik dan operator), lembaga pendidikan, mesin dan peralatan pabrik dan lain-lain dengan bunga dalam pencegahan udara pencemaran dari kapal.

Buku meliputi:
• The direvisi MARPOL Lampiran VI (Peraturan untuk Pencegahan Pencemaran Udara dari dari Kapal), termasuk batas emisi dan persyaratan operasional
• The Nox Teknis Kode 2008, yang dibuat di bawah wajib MARPOL Lampiran VI laut untuk semua mesin diesel dengan daya output 130 kW atau lebih, dan memberikan persyaratan untuk pengujian, survei dan sertifikasi dari laut mesin diesel
• interim pedoman untuk aplikasi yang Nox Teknis Kode 2008
• Standar spesifikasi untuk kapal insinerator.

Direvisi MARPOL Lampiran VI & Nox Teknis Kode 2008 (2009 Edition) tersedia dari distributor resmi dari IMO publikasi, dan melalui IMO toko buku online.

http://marinelink.com/en-US/News/Article/Revised-MARPOL-Annex-VI-NOx-Tech-Code/330164.aspx

(www.imo.org / Publikasi / mainframe.asp?topic_id = 429).

Marinelink, 01 April 2009

http://id.marinelink.com/story.aspx?330164


Sepanjang 2009, Operasional Kapal Asing di Belawan Menurun


Sepanjang 2009, Operasional Kapal Asing di Belawan Menurun


MedanBisnis – Belawan
Pemberdayaan kapal asing untuk mengangkut muatan dalam negeri melalui Pelabuhan Belawan tampaknya semakin menciut. Kalau sebelumnya jumlah kapal asing yang dimanfaatkan mengangkut muatan lokal rata-rata 13,7 unit per bulan, maka sejak awal 2009 anjlok menjadi hanya tiga unit per bulan.
Berdasarkan data yang diperoleh MedanBisnis dari Pelindo I Cabang Belawan, selama Januari – Februari 2009 jumlah kapal asing yang melayani angkutan dalam negeri melalui Pelabuhan Belawan sebanyak enam unit. Sementara periode serupa tahun 2008 jumlahnya mencapai 16 unit. Itu berarti anjlok sekitar 62,5%.
Dari data itu juga disebutkan selama tahun 2008 jumlah kapal asing yang melayani pelayaran dalam negeri melalui pelabuhan terkemuka di luar Pulau Jawa itu sebanyak 165 unit atau rata-rata 13,7 unit per bulan. Sedangkan Januari-Februari tahun 2009 jumlahnya hanya 6 unit atau rata-rata 3 unit per bulan.
Di tahun ini jumlah kapal asing yang melayani trayek lokal tercatat sebanyak 165 unit, sementara tahun 2007 jumlahnya 449 unit atau turun sekitar 63,25%. Sekadar diketahui, pada 2010 seluruh angkutan laut yang melayani angkutan lokal diwajibkan kapal berbendera Indonesia. Artinya, kapal asing tidak diperbolehkan lagi untuk melayani angkutan dalam negeri. Selain itu barang impor yang didanai pemerintah juga diwajibkan menggunakan angkutan nasional.
Kasubdit Angkutan Luar Negeri Ditjen Perhubungan Laut Adolf R Tambunan mengatakan hal itu saat menjadi pembicara pada workshop ‘Terms of Trade’ di Medan belum lama ini. Menurutnya, hal itu sudah ada pada roadmap pemberdayaan industri pelayaran nasional sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2005.
Sebelumnya, armada kapal asing masih merajai pelayaran lokal terutama internasional melalui Pelabuhan Belawan. Angkutan bahan bakar minyak (BBM) dari Dumai, Tanjung Uban dan Sambu ke Pelabuhan Belawan masih didominasi kapal tanker berbendera asing seperti Panama, Malaysia dan Singapura.
Sementara angkutan beras impor milik Bulog dari Vietnam sebelumnya masih didominasi kapal-kapal kargo berbendera Vietnam. Kapal Indonesia tak pernah dimanfaatkan. Oleh :
*wismar simanjuntak

Medan Bisnis Online,
13 April 2009

http://www.medanbisnisonline.com/2009/04/13/sepanjang-2009-operasional-kapal-asing-di-belawan-menurun/


Aturan impor kapal disoroti


TRANSIT

Aturan impor kapal disoroti

JAKARTA: Indonesia National Shipowners' Association menolak pengetatan persyaratan impor kapal bekas yang diusulkan Ikatan Pengusaha Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo).

Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA Paulis A. Djohan mengatakan pengetatan impor kapal belum tepat karena berpotensi menggagalkan kerja keras pelayaran nasional dalam rangka memenuhi tenggat penerapan asas cabotage secara penuh.

"Kalau pengetatan itu diatur dalam bentuk peraturan pemerintah, INSA menolak karena momentumnya tidak tepat apalagi kapasitas galangan domestik belum mampu memenuhi permintaan kapal yang dibutuhkan dalam rangka penerapan asas cabotage," katanya kemarin. (Bisnis/aji)

Bisnis Indonesia, 28 April 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=28-APR-2009&inw_id=670016


Ongkos angkut internasional naik Pelayaran nasional kurangi operasional kapal


Ongkos angkut internasional naik
Pelayaran nasional kurangi operasional kapal

JAKARTA: Perusahaan pelayaran nasional berpotensi hengkang ke luar negeri akibat kenaikan harga sewa kapal dan ongkos angkut atau freight di pasar internasional di tengah penurunan freight di dalam negeri.

Harga sewa kapal di pasar internasional hingga kemarin naik menjadi US$16.000 dari US$5.000, sedangkan ongkos angkut menjadi US$14 per ton dari sebelumnya US$9 per ton.

Dirut PT Gurita Lintas Samudra Soenarto mengatakan meskipun freight naik, muatan angkutan rute internasional dari Indonesia masih sepi karena ekspor masih belum normal.

"Perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal curah pada rute internasional kini sudah mulai bernapas karena freight sudah naik. Namun, freight di dalam negeri turun karena tidak seimbang antara jumlah kapal dan muatan yang tersedia," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Dia mengungkapkan ongkos angkut batu bara di dalam negeri turun dari Rp160.000 per ton menjadi Rp130.000 per ton, dan diperkirakan turun lagi setelah PLN mengurangi pasokan untuk kebutuhan bahan baku pembangkit listrik.

"Apabila pasar muatan di luar negeri nanti membaik atau normal, kapal berbendera Indonesia bisa hengkang karena freight di dalam negeri jatuh dan tidak menguntungkan," katanya.

Oleh karena itu, tutur Soenarto, kondisi ini perlu diantisipasi agar kapal berbendera Indonsia tidak meninggalkan pasar dalam negeri karena akan mengancam pasokan angkutan batu bara ke pembangkit listrik.

Dia mengungkapkan perusahaannya kini mengurangi operasional kapal ke PLTU Suralaya dari dua kapal menjadi satu kapal, setelah adanya kebijakan PLN untuk mengurangi pasokan batu bara ke pembangkit listrik Jawa-Bali itu.

Batalkan pembelian

Managing Director PT Jaya Samudra Karunia (JSK Shipping) Yudha Kurniawan Tanos menambahkan akibat jumlah kapal di dalam negeri kelebihan kapasitas, perusahaan itu berencana membatalkan pembelian empat kapal jenis handymax untuk angkutan batu bara di dalam negeri.

Menurut dia, JSK memilih menyewa kapal di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan angkutan ke PLTU Suralaya dan PLTU Labuhan Angin, Sibolga. JSK Shipping kini meyewa dua kapal berbendera Indonesia, yakni MV Bogasari V dan MV Zamrud yang dioperasikan mengangkut batu bara di dalam negeri.

"Dengan hanya mengandalkan kapal milik sendiri, tidak cukup untuk angkutan di dalam negeri sehingga kini tengah dilakukan negosiasi untuk menyewa dua kapal berbendera Indonesia lagi."

Sebelumnya, JSK Shipping mendapat dukungan pendanaan dari tiga bank nasional, yakni BII, Bank DKI Grup Syariah, dan Bank CIMB Niaga untuk pengadaan dua kapal tipe handymax untuk mengangkut batu bara di dalam negeri.

Presdir PT JSK Shipping Dennis S. K. Jang mengungkapkan kedua kapal handymax itu khusus dioperasikan untuk mengangkut batu bara di dalam negeri.

Menurut Dennis, angkutan batu bara membutuhkan kapal tipe handymax sebab kapal tipe post panamax sudah cukup banyak beroperasi di dalam negeri. JSK telah membeli kapal tipe post panamax dari Jepang dengan nama MV Karunia yang akan memperkuat angkutan batu bara di dalam negeri.

Dia mengungkapkan JSK berencana mengalihkan pengoperasian dua kapal post panamax itu ke luar negeri guna memperkuat pengapalan ekspor batu bara.

Saat ini, JSK masih menggunakan kapal sewa berbendera asing untuk pengapalan ekspor batu bara. Dua kapal post panamax milik perusahaan itu, yakni MV Victory yang digunakan untuk mengangkut batu bara ke PLTU Suralaya (Banten) dan MV Karunia dioperasikan mengangkut batu bara ke PLTU Labuhan Angin, Sibolga, Sumatra Utara.

Dennis menambahkan pada 2008 perusahaannya melakukan pengapalan ekspor 1,3 juta ton menggunakan kapal asing dari sekitar 150 juta ton total volume ekspor batu bara Indonesia. (aidikar.saidi@bisnis.co.id)

Oleh Aidikar M. Saidi
Bisnis Indonesi, 28 April 2008

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=28-APR-2009&inw_id=670013


April 27, 2009

Subsidi pelayaran perintis bisa beralih ke BUMN


Subsidi pelayaran perintis bisa beralih ke BUMN

JAKARTA: Menhub Jusman Syafii Djamal mengancam mengalihkan subsidi angkutan laut perintis ke perusahaan BUMN jika operator pelayaran swasta enggan melayani rute itu mulai tahun depan.

Ancaman itu merespons permintaan Forum Operator Angkutan Laut Perintis Indonesia kepada pemerintah untuk menerapkan kontrak jangka panjang atau multiyear dalam penyelenggaraan pelayaran perintis di Tanah Air.

"Kalau dipandang kurang menarik bagi swasta, nanti [subsidi pelayaran perintis] akan diberikan kepada BUMN," katanya, akhir pekan lalu.

Menhub menilai operator pelayaran perintis seharusnya melihat subsidi pelayaran perintis yang dianggarkan dari APBN sebagai peluang, bukan sebagai hambatan.

Jusman juga menegaskan menolak secara tegas permintaan operator pelayaran perintis agar menerapkan kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan angkutan laut perintis.

Menurut dia, kontrak angkutan laut perintis dilaksanakan setiap tahun sesuai dengan mekanisme yang berlaku untuk subsidi pelayanan angkutan umum atau public service obligation.

"Artinya, tidak ada subsidi angkutan laut perintis yang hasilnya untuk membeli kapal dan tidak ada multiyear dalam kontraknya," ujar Menhub.

Dia menegaskan pihaknya tetap akan menerapkan penyelenggaraan subsidi pelayaran perintis secara tahunan sesuai dengan mekanisme yang berjalan selama ini. "Mekanisme multiyear hanya diterapkan untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan."

Data Ditjen Perhubungan Laut menyebutkan seluruh pengoperasian kapal perintis disubsidi oleh pemerintah dengan alokasi pada 2009 sebesar Rp266 miliar, sedangkan 2008 hanya Rp206,74 miliar.

Oleh Hendra Wibawa

Bisnis Indonesia, 27 April 2009

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A17&cdate=27-APR-2009&inw_id=669860


Kredit Perkapalan Bank Mandiri Tumbuh 54%


Kredit Perkapalan Bank Mandiri Tumbuh 54%

JAKARTA
- Pertumbuhan kredit di sektor perkapalan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) hingga awal tahun ini, mampu tumbuh 54 persen dari dua persen total kredit perbankan sebesar Rp1.300 triliun.


Meskipun demikian, angka ini belum maksimal. Tetapi, kedepannya industri ini memiliki prospek yang bagus khususnya disektor transportasi di Indonesia.


"Penyaluran kredit kita untuk ditahun ini, sudah 54 persen. Kendati pun, ini angka yang kecil, tapi kedepannya akan kita tingkatkan melihat potensi yang besar nantinya," ungkap Direktur Corporate BMRI Riswinandi, dalam diskusi Peluang Pembiayaan Industri Pelayaran di Indonesia, di Gedung BI, Jakarta, Rabu (15/4/2009).

Menurutnya, kedepannya perbankan akan lebih terbuka untuk menyalurkan kredit disektor ini, mengingat potensi yang ada sangat besar. Hanya saja, pembiayaan kapal ini, perbankan harus lebih mengenal lebih dekat lagi, dalam pola bisnis yang dilakukan oleh industri tersebut.

Tidak hanya itu, perbankan harus memiliki willingness dan cast flow pengembaliannya. Dikatakannya, untuk pembiayaan jangka panjang sendiri di sektor ini, perbankan harus berhati-hati, dengan mencocokkan industri perkapalan. Pasalnya, hal yang perlu diperhatikan dalam industri perkapalan adalah konsen akan risiko, pengembalian dana pinjaman, dan suku bunga.


Dia pun menegaskan, tidak bisa dipungkiri, sejauh ini penyaluran kredit perbankan, lebih banyak digunakan dalam kurun waktu jangka pendek, dibandingkan dengan jangka panjang.


Karena ini, tambahnya, adalah permainan treasury yang harus dikelola perbankan dengan baik, agar pembiayaan dapat berjalan dengan baik.


Menurutnya, peranan perbankan, terhadap industri perkapalan tidak hanya sebatas pemberian kredit, tetapi jug bisa membantu dalam cast manajemen system cabotage, dan bisa juga membantu dalam treat finance services. (rhs)


Okezone.com, 15 April 2009


http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/04/15/277/210824/kredit-perkapalan-bank-mandiri-tumbuh-54



Aktivitas Pelabuhan Laut Pontianak Lumpuh Total


Aktivitas Pelabuhan Laut Pontianak Lumpuh Total


PONTIANAK–MI:Aktivitas pelayaran di Pelabuhan Laut Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) lumpuh total akibat kandasnya kapal motor (KM) Lawit yang menghalangi arus kapal di perairan itu.

Sudah empat hari ini, tidak ada aktivitas keberangkatan dan kedatangan kapal karena terhalang KM Lawit yang kandas di Muara Jungkat, kata Kepala Terminal Penumpang Pelabuhan Laut Pontianak Supardi, Sabtu (25/4).

Ia mencatat terdapat 12 kapal angkutan penumpang dan barang yang gagal berlabuh dan berangkat dari Pelabuhan Laut Pontianak sejak empat hari terakhir. Tiga kapal di antaranya mengangkut bahan bakar minyak (BBM) milik Pertamina.

Jumlah ini belum termasuk kapal dan perahu tradisional yang juga tidak bisa keluar dan masuk ke alur pelayaran Pontianak, ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, KM Dharma Kencana yang dijadwalkan tiba dari Semarang, Jawa Tengah, pada Minggu (26/4) juga terancam tidak bisa berlabuh. Kapal jenis roll on roll of(roro) ini mengangkut sekitar 500 penumpang dan sejumlah truk bermuatan sayuran dan buah.

Kalau sampai besok pagi Kapal Lawit belum juga berhasil ditarik, KM Dharma Kencana dipastikan tidak bisa merapat, jelas Supardi.

Lumpuhnya aktivitas pelayaran di Pelabuhan Laut Pontianak itu menyebabkan ratusan calon penumpang gagal berangkat dan belasan ton buah-buahan terancam busuk karena terlambatnya pengiriman. Pisang dan jeruk ini hanya mampu bertahan dalam perjalanan paling lama empat hari dan empat malam. Jika lebih dari itu, kualitasnya akan menurun, kata Hamid,42, salah seorang pengemudi truk yang menumpang KM Mabuhay Nusantara.

KM Lawit jurusan Pontianak-Surabaya kandas di Lampu buih 3 dan 4 Perairan Muara Jungkat, Kabupaten Pontianak, pada Rabu (22/4) pukul 17.00 WIB atau sekitar dua jam setelah bertolak dari Pelabuhan Laut Pontianak. Kapal milik PT Pelni yang mengangkut 297 penumpang dan 61 anak buah kapal (ABK) tersebut kandas akibat pendangkalan pada alur masuk utama pelayaran dari dan menuju Pontianak.

Sementara itu, pihak otoritas Pelabuhan Laut Pontianak kembali melanjutkan proses evakuasi terhadap penumpang KM Lawit, yang dimulai sejak Jumat (24/4) malam. Evakuasi dilakukan setelah upaya untuk menarik kapal tersebut ke posisi semula kembali gagal.

Evakuasi juga akan dilakukan terhadap (sekitar 700 orang) penumpang KM Marisa yang tertahan di perairan sebelum Muara Jungkat, kata anggota tim evakuasi, Said.

Otoritas pelabuhan setempat hingga kini belum bisa memastikan kapan KM Lawit bisa disingkirkan dari jebakan pendangkalan tersebut, sehingga keberadaannya tidak mengganggu jalur pelayaran. Harapan satu-satunya tinggal menunggu air pasang, sehingga kapal bisa secepatnya ditarik kembali ke pelabuhan, kata Supardi. (AR/OL-01)

Koran Indonesia, 25 April 2009, 03:15 pm

http://www.koranindonesia.com/2009/04/25/aktivitas-pelabuhan-laut-pontianak-lumpuh-total/


April 23, 2009

Leasing kapal mulai membaik


Leasing kapal mulai membaik

BKI dukung klasifikasi kapal berbendera RI


JAKARTA: Setelah stagnan pada tahun lalu, bisnis sewa guna usaha (leasing) kapal diproyeksikan membaik pada tahun ini seiring dengan potensi kebutuhan terhadap angkutan laut itu sebanyak 650 unit hingga 2010.


Peluang bisnis di segmen ini juga diuntungkan oleh turunnya harga kapal pada saat kondisi ekonomi global belum pulih. Leasing kapal juga dinilai lebih menjanjikan daripada leasing pesawat karena Indonesia merupakan negara kepulauan.

Sigit Wahyoe Prasetya, Direktur Eksekutif Transforum Ship & Port Advisory, lembaga independen dalam bidang infrastruktur maritim, mengatakan potensi leasing kapal sangat menjanjikan pada tahun ini, didorong oleh kebutuhan kapal yang meningkat untuk pengiriman barang konsumsi.

"Indonesia merupakan negara maritim, ini yang menjadikan peluang pembiayaan leasing kapal membaik. Saat ini waktu yang tepat untuk membeli kapal," katanya kepada Bisnis di sela-sela acara Two Days Executive Program Ship Finance di Jakarta, kemarin.


Selain itu, penerapan asas cabotage yang mewajibkan komoditas domestik diangkut kapal berbendera Indonesia-turut mendorong perkembangan industri ini.


Sebagai contoh, tuturnya, pertumbuhan pasar kapal angkutan batu bara untuk proyek pembangkit listrik cukup tinggi dengan potensi klien 300-400 perusahaan kapal.


Dia mengatakan pemain leasing kapal di dalam negeri antara lain PT PANN Multifinance, PT Mega Fina Dana Multi Finance, PT Buana Finance Tbk, dan PT Al Ijarah Indonesia Finance (Alif).


Sigit mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi industri pembiayaan kapal antara lain pelaksanaan asas cabotage yang belum efektif dan tidak adanya forum komunikasi yang efektif dan optimal dalam pembiayaan kapal.


Menurut dia, peluang bisnis perkapalan seharusnya mampu dimanfaatkan oleh pelaku leasing kapal, baik perbankan maupun multifinance. Namun, dia menilai suku bunga kredit kapal yang berkisar 17%-20% saat ini belum kompetitif karena lebih tinggi dibandingkan dengan bunga di luar negeri sekitar 5%.


"Bank dan multifinance juga sama-sama membiayai kapal, tetapi keduanya sama saja. Mereka hanya bermain di bunga antara 17% dan 20%," jelasnya.


Sigit mengakui bank masih menganggap kredit perkapalan berisiko tinggi. Hal ini ditandai dengan kredit perkapalan hanya Rp10 triliun, di bawah 2% dari total kredit nasional pada 2007.


Dukungan BKI

Di tempat terpisah, Dirut BKI Muchtar Ali mengatakan pihaknya akan membantu mempermudah proses pergantian bendera kapal asing menjadi Merah Putih, termasuk untuk memproses kelas kapal di badan klasifikasi nasional tersebut.

"Kami siap membantu pemerintah dalam hal ini BP Migas dan anggota kontraktor kontrak kerja sama, terutama yang berkaitan dengan kewajiban terhadap kapal agar berbendera Indonesia dan kelasnya minimal dual class dengan BKI," ujarnya saat membuka Forum Perkapalan dan Transportasi BP Migas, kemarin.


Budi Indianto, Kepala Divisi Penunjang Operasi BP Migas, mengatakan ke depan kontrak kerja sama dengan K3S harus sesuai dengan persyaratan yang diamanatkan dalam asas cabotage dan UU Pelayaran agar pelayaran nasional bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri untuk angkutan migas.


"Saat ini 70% armada pendukung migas jenis FSO [floating storage & offloading] dan FPSO [floating production storage & offloading] masih berbendera asing. Padahal jenis armada ini sangat mahal," ujarnya.


Kendati demikian, pihaknya tetap optimistis asas cabotage di sektor angkutan migas dalam negeri bisa dilaksanakan pada awal 2011. "Kami sudah menyiapkan beberapa opsi kalau ternyata ada kendala dalam memenuhi asas cabotage. Tetapi maaf, saya belum bisa menjelaskannya sekarang." (k1/23) ( redaksi@bisnis.co.id)


Bisnis Indonesia, 22 April 2009


http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id113982.html


Pengguna jasa pelabuhan minta aturan tally direvisi


Pengguna jasa pelabuhan

minta aturan tally direvisi

JAKARTA: Kalangan pengguna jasa mengusulkan revisi Keputusan Menhub No. 15/2007 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Tally Independen, terkait dengan rencana Departemen Perhubungan mengkaji ulang kegiatan pencatatan dan penghitungan keluar masuk barang (tally) di pelabuhan itu.

Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mengatakan seharusnya pemerintah tidak mengatur soal perusahaan tally yang harus digunakan oleh pemilik barang, termasuk besaran tarifnya.

"Kesalahan ada di KM. Kalau administrator pelabuhan, saya pikir hanya menjalankan peraturan. Kami seharusnya juga boleh menentukan perusahaan tally, tidak harus yang independen," ujarnya kemarin.

Menurut dia, keputusan menteri tersebut sebaiknya cukup menyatakan bahwa semua bongkar muat barang di pelabuhan, baik ekspor maupun impor, harus menggunakan jasa tally.

Dalam KM No.15/2007 disebutkan kegiatan tally wajib dilakukan terhadap setiap kapal nasional dan asing yang melakukan bongkar muat dari dan ke kapal di pelabuhan. Kegiatan tally harus dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum Indonesia dan bersifat independen.

Pelabuhan Tanjung Priok merupakan proyek percontohan untuk implementasi kegiatan tally mandiri.

Toto menilai KM tersebut ditetapkan karena adanya keinginan dari suatu kelompok untuk membuat usaha di Pelabuhan Tanjung Priok.

Dia menambahkan pemerintah juga harus mengupayakan agar setiap perusahaan tally yang beroperasi di pelabuhan mempunyai sertifikasi internasional, serta tenaga ahli di bidang pencatatan dan penghitungan keluar masuk barang.

"Kalau memang diperlukan, pemerintah juga masih bisa mengatur komponen tarif batas atas," paparnya.

Depalindo sebelumnya melaporkan Adpel Tanjung Priok kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dengan adanya indikasi kartel oleh 19 perusahaan tally mandiri.

Toto mengungkapkan pihaknya sudah dimintai keterangan oleh KPPU yang masih terus mendalami kasus itu.

"Saya sudah dimintai keterangan seputar prosedur kegiatan tally di Pelabuhan Tanjung Priok, mengenai jenis pekerjaan, atas dasar apa tuduhan kartel, dan sebagainya," ungkap Toto.

Pekan lalu, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Jamal mengatakan akan mengkaji ulang penetapan tarif tally.

Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut Dephub Bobby R. Mamahit sebelumnya mengatakan evaluasi tarif tally akan dilakukan setelah pihaknya selesai mengkaji ulang penetapan tarif lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok. (22)

Bisnis Indonesia, 22 April 2009

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id113989.html

Ratifikasi arrest of ship rampung


Ratifikasi arrest of ship rampung

Deplu diminta segera tindak lanjuti



JAKARTA: Departemen Perhubungan menyelesaikan naskah ratifikasi konvensi internasional mengenai penahanan kapal (arrest of ship) dan telah menyampaikannya kepada Departemen Luar Negeri untuk segera ditindaklanjuti.

Naskah ratifikasi arrest of ship yang bertujuan memberikan jaminan hukum bagi penyedia pembiayaan di sektor pelayaran itu diharapkan segera diproses Deplu untuk disampaikan kepada Presiden.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut Dephub Leon Muhammad mengatakan penyelesaian ratifikasi arrest of ship mendesak untuk mendukung penerapan penuh asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut kapal berbendera Indonesia) mulai 2010.

" Di internal Dephub sudah selesai dibahas dan saat ini berkas [ratifikasi] telah diserahkan kepada Deplu karena ratifikasi arrest of ship berkaitan dengan ketentuan internasional," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Pemerintah mempercepat ratifikasi arrest of ship agar peluang industri pelayaran nasional memperolah pendanaan alternatif dari lembaga keuangan atau bank asing kian terbuka.

Ratifikasi itu akan memberikan kepastian hukum bagi pemberi kredit sehingga tidak khawatir lagi dalam membiayai pengadaan kapal berbendera Indonesia.

"Kami berharap ratifikasi itu secepatnya selesai agar pembiayaan untuk pembelian kapal yang diajukan perusahaan pelayaran nasional bisa diperoleh dari lembaga keuangan asing," katanya.

Dia menambahkan setelah proses ratifikasi selesai, ketentuan internasional mengenai penahanan kapal bisa berlaku di Indo nesia. "Kami mendorong Deplu sege- ra memprosesnya."

Retifikasi arrest of ship merupakan kelanjutan dari ratifikasi konvensi internasional tentang hipotek atas kapal (mortgage law). Arrest of ship merupakan ketentuan internasional tentang penahanan kapal yang disepakati dalam konvensi internasional pada 1999.

Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada lembaga pembiayaan atau perbankan melakukan penahanan kapal milik debitur yang melanggar ketentuan atau wanprestasi dalam melaksanakan kewajiban kepada kreditur.

Kontrak jangka panjang

Ketua Bidang Angkutan Lepas Pantai Indonesian National Shipowners' Associations (INSA) Sugiman Layanto mengatakan lembaga pembiayaan dalam negeri ataupun asing sebenarnya mulai berminat membiayai sektor pelayaran.

Masalahnya, sebagian besar operator masih kesulitan mendapatkan kontrak sewa kapal untuk jangka panjang yang menjadi salah satu persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan dari bank.

Dia mendukung langkah pemerintah yang mempercepat ratifikasi arrest of ship, tetapi harus dibarengi dengan upaya membantu operator mendapatkan kontrak jangka panjang. "Soalnya itu permintaan dari perbankan," katanya.

Pelaksanaan asas cabotage untuk angkutan migas memberikan kesempatan kepada lembaga keuangan untuk mengucurkan pembiayaan pengadaan kapal baru karena kapal asing dilarang beroperasi di dalam negeri mulai 1 Januari 2010.

Saat ini 46 perusahaan pelayaran nasional mencari pembiayaan pengadaan kapal yang sebagian diperuntukkan mengganti peran kapal asing dalam angkutan migas dalam negeri.

Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA Paulis A. Djohan mengatakan peluang perusahaan pelayaran memperoleh pembiayaan dari perbankan asing bakal terbuka jika ratifikasi arrest of ship selesai.

Selama ini, perusahaan pelayaran masih kesulitan mendapatkan pembiayaan pengadaan kapal karena Indonesia belum meratifikasi ketentuan internasional mengenai penahanan kapal itu. (tularji@bisnis.co.id)

Oleh TULARJI
Bisnis Indonesia, 22 April 2009

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id113988.html


April 22, 2009

IMO Kampanyekan "Go To Sea" Sambut Hari Maritim Dunia


IMO Kampanyekan "Go To Sea" Sambut Hari Maritim Dunia


London (ANTARA News) - Sidang organisasi International Maritime Organisation, (IMO) , organisasi PBB yang mengatur kemaritiman mengkampanyekan "Go To Sea" dalam rangka menyambut Hari Maritim Dunia (World Maritime Day) tahun 2009.

Atase Perhubungan KBRI London Hadi Supriyono, kepada koresponden Antara London, Senin mengatakan sidang tersebut dipimpin Sekjen IMO E. Mitropoulos, bertempat di IMO Head Quarter, Embankment, London.

Dikatakannya dalam pembukaan sidang, Sekjen IMO menghimbau perlunya kampanye "Go To Sea" kepada para pemuda untuk bekerja di kapal.

Diharapkannya dengan tema kampanye "Go To Sea" akan dapat meningkatkan persepsi masyarakat tentang industri maritim, serta pemahaman para pemuda tentang keuntungan yang ditawarkan dengan karir sebagai pelaut.

Selain itu diharapkan akan terjadi pergeseran nilai kualitas hidup di laut dengan pendekatan tawaran karir alternative di darat.

Menurut Hadi Supriyono, dalam kesempatan itu Sekretaris Jenderal IMO, juga mengingatkan pentingnya pelayaran yang keselamatan, aman dan bersih lingkungan dalam system perdagangan dunia.

Dalam sidang IMO itu juga disampaikan untuk menyambut Hari Maritim Dunia (World Maritime Day) tahun 2009, Sekjen IMO mengusulkan tema "Climate Change: is challenge for IMO too".

Dikatakannya pemilihan tema itu telah mendapatkan persetujuan dari sidang Council.

Selain itu Hadi Supriyono mengatakan bersama rekan dari Departemen Perhubungan, mengikuti kelompok kerja yang membahas Contact Point on Piracy off coast of Somalia di gedung IMO.

Dalam kelompok kerja kali ini yang menjadi koordinator adalah dari kantor kementerian luar negeri Inggeris (FCO - Foreign & Commonwealth Office) dibahas langkah-langkah konkrit dalam upaya menekan piracy di Golf of Aden dan perairan lepas pantai Somalia.

Posisi Indonesia dalam kelompok kerja adalah untuk mengamankan kedaulatan RI bila ada upaya pengaturan yang mungkin menyimpang dari UNCLOS 1982, ujarnya.


Pencegahan kebakaran

Sementara itu dalam sidang ke-53 "Sub-Committee on Fire Protection" yang dipimpin J.C. Cubisino (Argentina) dan Wakil Pimpinan C. Abbate (Italia), dihadiri delegasi dari 56 Negara anggota termasuk delegasi RI, dua Negara Anggota Asosiasi, dan organisasi Antar Pemerintah, serta 16 Organisasi Non-Pemerintah.

Dalam sidang itu delegasi Indonesia terdiri atas Capt. Jimmy Abubakar Nikijuluu, Sesditjen Hubungan Laut, Ditjen Hubla, Hadi Supriyono, Atase Perhubungan KBRI London dan Karolus Sengadji, Dit. KPLP, Ditjen Hubla

Dalam kelompok kerja dua dibahas tentang "Measures to prevent explosions on oil and chemical tankers transporting low-flashpoint cargoes" dipimpin Capt. D. Morris dari Inggris.

Menurut Hadi Supriyono, dalam sidang kelompok kerja dua bertugas memperhatikan hal teknik dan operasional yang dilakukan mencegah terjadinya kebakaran dan ledakan di kapal tanker minyak dan kapal tanker chemical yang membawa muatan dengan titik bakar yang rendah.

Untuk itu perlu diambil langkah operasional dalam kaitannya dengan faktor manusia serta meningkatkan nilai tambah pencegahan kebakaran dan ledakan terutama dalam kaitannya dengan muat-bongkar muatan, pembersihan tanki dan pemeriksaan tanki.

Dikatakannya Direktorat Teknis Ditjen Hubla perlu mencermati kemungkinan terjadinya kesulitan dalam implementasi pengaturan dan secara dini dapat menyampaikan keberatan ke IMO melalui pengajuan dokumen sebelum ketentuan itu di adopsi dan diterapkan.

Pada sidang tersebut terjadi diskusi yang intensif tentang usulan Norwey bahwa kapal tanker chemical dibawah 20.000 dwt harus dilengkapi dengan peralatan Innert Gas System (IGS).

Pada prinsipnya para delegasi tidak menolak usulan Norwey dengan alasan bahwa terjadinya ledakan di kapal tanker chemical tidak tergantung dari besar kecilnya kapal, karena kapal ukuran lebih kecil dari 20.000 dwt juga perlu dilengkapi dengan IGS.

Banyak delegasi yang menyarankan agar dalam mengambil keputusan, sub-committee harus hati-hati karena terdapat unsure ekonomi apabila hal ini diterapkan.

Selain itu, faktor manusia menunjukkan bukti terjadinya ledakan di kapal tanker chemical, dengan dilengkapinya IGS belum dapat menjamin kapal terhindar dari bahaya ledakan tanpa memperhatikan faktor manusia baik di kapal maupun di darat.

Menurut Hadi Supriyono, menjadi perhatian Delegasi Indonesia apabila usulan ini berkembang lebih jauh dan akhirnya diberlakukan tidak hanya terhadap kapal baru, tetapi juga terhadap kapal yang sudah ada (existing ship).

Untuk itu perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan secara dini kepada semua pemilik, pengusaha dan operator kapal nasional mengantisipasi konsekuensi yang akan terjadi terhadap armada nasional.(*)

COPYRIGHT © 2009

Antara, 03 Maret 2009

http://www.antara.co.id/arc/2009/3/3/imo-kampanyekan-go-to-sea-sambut-hari-maritim-dunia/


As of 2010, All Means Af Sea Transport Must Fly Indonesian Flag


As of 2010, All Means Af Sea Transport Must Fly Indonesia Flag

All means of sea transport operating in Indonesia need to fly the Indonesian flag as of 2010. "Meanwhile, commodities imported using government funds must use Indonesian ships," head of the foreign sea transportation sub directorate of the transportation ministry, Adolf R Tambunan, said here on Thursday.


According to him, this decision was already laid down in the roadmap on the use of national ships (cabotage) involving 13 ministers.

The road map was drawn up on the basis of presidential instruction No 5/2005 on the empowerment of the national shipping industry, while the 13 ministers were coordinating minister of the economy, national development planning minister, transportation minister, finance minister, home minister, trade minister, industry minister, forestry minister, national education minister, energy and mineral resources minister, marine and fishery minister, state entreprices minister and cooperatives minister.

"The decision also applies to all district heads, mayors and governors," he said.
To become host in one`s own country, all sides need to support and include the cabotage principles without exception of business players and a number of members of the Indonesian community.

Cabotage principles are a must considering that there is a sanction in the case of a violation.

To smoothen the application of the decision, he added, the government had increased the empowerment of the national shipping industry among others by providing financial, taxation and fuel supply facilities.

In view of national shipping industry empowerment, he said, the step taken by the government was establishing an integrated shipping industry and an incentive for companies wishing to build and repair own ships.

Chairman of the Indonesian National Shipowners Association`s container transport affairs Asmari Herry said the decision had actually expanded the national shipping market.

"One of the indications was that the growth of the national ships reached only 29.9 percent from 2005 to 2008, so that the use of foreign vessels continued to decline," he said.

The number of national vessels now reached 7,846 units, he said.

Source : Antara.

Embassy of Indonesia, Oslo ; Sunday, 05 April 2009 07:54

http://www.indonesia-oslo.no/economic-affairs/886-as-of-2010-all-means-af-sea-transport-must-fly-indonesian-flag.html

Industri Pelayaran Butuh Kredit


Industri Pelayaran Butuh Kredit


Padahal pangsa kredit pelayaran kurang dari dua persen total kredit perbankan.

JAKARTA -- Kredit untuk industri pelayaran di 2009 meningkat 80 persen menjadi Rp 19,7 triliun dibanding tahun sebelumnya. Namun jumlah itu tidak sebanding dengan kebutuhan pembiayaan pembelian kapal dalam penerapan azas cabotage di Indonesia.

"Jika dibanding tahun lalu, ini tumbuh lebih dari 80 persen. Tapi ini belum termasuk dana dari lembaga pembiayaan, hanya bank saja," kata Deputi Gubernur BI, Muliaman D Hadad, di Jakarta, Rabu (15/4). Meskipun mencapai angka yang cukup tinggi, Muliaman mengungkapkan bahwa pangsa kredit pelayaran/perkapalan terhadap kredit perbankan masih kurang dari dua persen dari total kredit.

Saat ini hanya sekitar 25 persen kapal berbendera Indonesia yang melayani pelayaran di dalam negeri. Berdasarkan asas cabotage, pengangkutan pelayaran di wilayah Indonesia wajib dilakukan oleh maskapai pelayaran milik Indonesia. Hal ini diatur dalam Inpres No.5 tahun 2005. Penerapan asas cabotage sendiri akan mulai berlaku pada 2010 untuk kapal pengangkut minyak, komoditas dan batu bara. Sedangkan untuk pengangkutan industri hulu aturan ini dimulai pada 2011.

Hingga Februari, Kredit Perbankan untuk Sektor Pelayaran Capai Rp 19,7 triliun. Penyaluran kredit perbankan terhadap sektor pelayaran hingga Februari 2009 mencapai Rp 19,7 triliun atau meningkat 80 persen dari tahun sebelumnya. Masih minimnya pemberian kredit di pelayaran itu, menurut Muliaman, merefleksikan masih besarnya potensi yang ada.

"Kebanyakan lending tidak jalan akibat terbatasnya informasi, karena risiko yang ada tidak diketahui dan tidak terukur. Padahal sebenarnya selalu ada potensi dan tantangan yang terbuka luas," kata dia.

Ketua umum INSA (Indonesia National Shipping Association), Johnson W Sutjipto, mengatakan, kebutuhan pembelian kapal-kapal untuk memenuhi asas cabotage memerlukan dana setidaknya 12 miliar dolar AS hingga delapan tahun mendatang.

"Apalagi saat ini harga kapal sedang turun, harga terendah dalam 5 tahun terakhir. Banyak kapal yang dibangun di Cina, dibatalkan pemiliknya dan kemudian dijual diskon. Sehingga saat ini adalah perfect time to invest and finance," ujar Johnson. Parahnya, animo bank untuk membiayai industri pelayaran justru turun setelah krisis moneter 1998.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkapalan dan Transportasi BP Migas, Justinus Tangkelangi, mengungkapkan bahwa kesulitan pendanaan itu terkait masih rendahnya dukungan sektor perbankan nasional. una


Republika Online, 16 April 2009, pukul 23:02:00

http://republika.co.id/koran/16/44266/Industri_Pelayaran_Butuh_Kredit

Pelabuhan Pelayaran Dinilai Belum Raih Keuntungan Maksimal


Pelabuhan Pelayaran Dinilai Belum Raih Keuntungan Maksimal


Kapanlagi.com - Perusahaan pelayaran nasional belum bisa menikmati keuntungan dari peningkatan volume muatan angkutan laut luar negeri dari Indonesia, yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir karena penerapan trade term (cara pembayaran) yang lebih menguntungkan pengekspor, maupun pengimpor luar negeri.

"Hampir seluruh ekspor komoditi Indonesia dilakukan dengan menggunakan sistem FOB (free on board) sementara untuk impor memakai sistem CIF (cost, insurance, freight)," kata Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir.Tridoyo Kusumastanto, MS di Bogor, Senin (13/4).

"Dengan sistem ini, baik untuk pengiriman ekspor maupun impor, urusan kapal pengangkut, termasuk biayanya, ditentukan sendiri oleh pihak luar negeri. Pihak Indonesia nyaris tidak berperan dalam penentuan ekspor/impor," katanya.

Menurut data PKSPL, selama 2003-2007 volume muatan angkutan luar negeri meningkat rata-rata 8,3 persen pertahun dari 442 juta ton pada 2003 menjadi 531 juta ton pada 2007.

Dari 531 juta ton volume muatan angkutan luar negeri pada 2007, pangsa armada pelayaran nasional hanya 31 juta ton atau sekitar 5,8 persen, selebihnya didominasi oleh armada pelayaran asing.

Selain cara pembayaran yang kurang menguntungkan, kata Tridoyo, armada pelayaran nasional juga menghadapi persaingan ketat dengan pelayaran asing yang semakin memperluas jaringan keagenannya di Indonesia, sementara perusahaan nasional justru menghadapi masalah proteksi di beberapa negara.

"Bahkan untuk angkutan dalam negeri pun, perusahaan nasional harus bersaing ketat dengan perusahaan asing," katanya. (kpl/bar)

Kapanlagi.com, 13 April 2009

http://www.kapanlagi.com/h/pelabuhan-pelayaran-dinilai-belum-raih-keuntungan-maksimal.html


Kredit Pelayaran Dan Perkapalan Masih Rendah


Kredit Pelayaran Dan Perkapalan Masih Rendah


Rab, Apr 15, 2009 Ekonomi

Jakarta ( Berita ) : Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D Hadad mengatakan, pembiayaan industri pelayaran dan perkapalan masih sangat rendah hanya 1,58 persen dari total kredit perbankan.

“Pangsa kredit pelayaran dan perkapalan terhadap perbankan kurang dari dua persen. Hal ini tidak merefleksikan potensi sektor pelayaran dan perkapalan yang ada,” katanya saat membuka lokakarya peranan industri pelayaran pada kegiatan usaha hulu migas di Jakarta, Rabu [15/04].

Ia mengatakan, dari sisi pertumbuhan kredit sektor industri pelayaran dan perkapalan, pada Februari 2008, kredit perbankan mencapai Rp10,92 triliun. Pada Februari 2009 kredit perbankan telah mencapai Rp19,68 triliun.

Meski demikian, bila dilihat dari total kredit perbankan masih sangat rendah. Pada Februari 2008 pangsa kreditnya 1,04 persen. Februari 2009, pangsa telah meningkat menjadi 1,58 persen.

Muliaman mengatakan, untuk meningkatkan sektor pembiayaan ke industri ini, maka diperlukan adanya keterbukaan informasi dari sektor tersebut. Hal ini menurut dia, agar perbankan dapat memperoleh informasi terkait resiko yang terjadi dalam usaha perkapalan dan pelayaran. Sehingga bank, bisa mencari jalan dalam memitigasi resiko tersebut. “Sebenarnya selama ini masalah informasi ini yang kurang, tak kenal maka tak sayang,” katanya.

Ia menambahkan, bagi bank sebenarnya memiliki dua unsur utama dalam menyalurkan kredit. Pertama adalah kemampuan untuk membayar. Kedua adalah, kemauan untuk membayar. “Ini yang juga ingin diketahui perbankan,” katanya.

Kepala Dinas Perkapalan dan Tranportasi Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas) Justinus Tangkelangi mengatakan, potensi untuk pelayaran dan perkapalan di sektor migas sangat besar. Ia menjelaskan, untuk survei seismik dalam rangka penyelidikan jebakan hydrokarbon tarif sewa per kapal per hari mencapai 200 ribu dolar AS.

Untuk pemboran eksplorasi migas dibutuhkan kapal semi submersible rig dan drillship yang sewanya mencapai 400 ribu-600 ribu dolar AS per hari. Smentara untuk Jackup rig, sewa kapalnya mencapai 60 ribu dolar AS. “Sampai saat ini belum ada perusahaan nasional yang mempunyai jadi memaki perusahaan asing,” katanya.

Di sektor produksi, kapal-kapal yang digunakan rate mencapai 15.000 ribu dolar AS hingga 50 ribu dolar AS per hari. Untuk proyek pemindahan rata-rata sewa kapal mencapai 30 ribu-200 ribu dolar AS. Sedangkan di sektor produksi, sewa kapal untuk pengakutan LNG berkapasitas 150 ribu metrik sebesar 50 ribu dolar AS.

Sementara itu, menurut dia 44 persen kapal yang digunakan berbendera Indonesia, dan hanya 44 persen yang berbendera Indonesia. Padahal asas cabotage (keharusan angkutan kapal menggunakan bendera nasional) akan berlaku penuh pada 1 Januari 2011. “Ini berarti peluang bagi perusahaan kapal dalam negeri unuk berkembang. Peluang investasi perkapalan sektor migas sangat besar,” katanya.
(ant)

Berita Sore, 15 April 2009

http://beritasore.com/2009/04/15/kredit-pelayaran-dan-perkapalan-masih-rendah/

April 21, 2009

Govt eyes non-tax revenues from shipping


HIGHLIGHTS

Govt eyes non-tax revenues from shipping


The government is sent to boost non-tax revenues (PNBP) from the shipping and seaport service sectors.


That decision was stipulated through Government Decree (PP) No. 6/2009 on types of Non-Tax State Revenues that is enacted by the Ministry of Transportation. The PP was signed by President Susilo Bambang Yudhoyono in January.


Included in PNBP from seaport services are vessel services such as anchoring services, piloting services, tugging services at piers for private needs (DUKS), general and special port services, and berthing services.


Concerning goods services, PNBP includes those from pier services, stockpiling services, port equipment services, and other port handling services like land renting, seawaters and ground space utilization and water services, services of passenger terminals, and entry pass services.


Beside the sea transportation sector, PNBP also comes from navigation services like the utilization of navigation supporting facilities, the renting of navigation yard facilities and telecommunication services, and health examination and evaluation of shipping work environment.


The PP became effective 30 days after it was issued. Beside the sea transportation, the PP also regulates PNBP from land transportation, and the education and training in the transportation sector.


Johnson W. Sucipto, chairman of the Indonesian National Shipowners’ Associations (INSA), admitted that the regulation was shocking shipowners because they had never been involved in its socialization.


“We were informed about the issuance this regulation just on February 17 when we attended a meeting with the Ministry of Transportation, while it became effective one day earlier,” Johnson said.


Meanwhile, at Tanjung Priok Port, the regulation was implemented in order follow up on the circular issued by Tanjung Priok Administrator to all users of port services and all associations related the port.


Indonesia
Shipping Times - March 10, 2009